TEMPO.CO, Jakarta – Obat modern asli Indonesia atau Omai dinilai masih kalah populer dengan obat-obat berbahan baku impor. Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan masalah utama yang dihadapi negara adalah dokter-dokter di dalam negeri belum terbiasa memberikan resep obat modern asli Indonesia kepada pasiennya.
“Misalnya ada omai untuk penyakit ginjal, tapi dokter sudah terbiasa dengan obat berbahan baku impor. Kita harus siasati agar dokter bisa mau beralih ke obat asli Indonesia. Ini adalah problem terbesar,” ujar Bambang dalam acara Dialog Nasional Tempo bertajuk “Pengembangan untuk Kemandirian Obat Nasional” pada Jumat, 6 November 2020.
Bambang berpendapat, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait semestinya berpihak terhadap obat asli Tanah Air melalui kampanye pemanfaatan yang lebih luas. Ia mencontohkan Korea Selatan yang selalu mengunggulkan produk herbalnya, yakni gingseng, di kancah global.
Ketimbang Korea Selatan, Indonesia dianggap belum memiliki fanatisme yang besar terhadap produk omai, yakni obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka di negeri sendiri. Selain itu, masalah lainnya adalah fitofarmakabelum terdaftar dalam obat-obat yang diresepkan di Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN.
Kondisi tersebut membuat fitofarmaka dan OHT tak mampu bersaing dengan obat-obat berbahan kimia yang didatangkan dari negara luar. Dalam hal ini, Bambang menyebut semestinya ada intervensi dari Kementerian Kesehatan untuk merevisi regulasi yang berlaku terkait obat-obatan dalam JKN.
Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences Raymond R. Tjandrawinata membenarkan banyak fasilitas kesehatan di dalam negeri yang belum menggunakan produk omai. Padahal, dari sisi industri, perusahaannya sudah mengembangkan obat berbahan baku herbal sejak 2005.