Karena itu, kata Surya, kebijakan yang dikeluarkan harus ada kepastian harga feed-in tariff sesuai keekonomian energi yang dihasilkan. Setiap energi, satu sama lain akan berbeda tarifnya. Karena itu, tutur dia, sempat keluar peraturan menteri soal feed-in tariff.
"Tapi tidak semua kebijakan menteri soal feed-in tariff akan diterima PLN, dan itu tidak bisa dieksekusi. Jadi seolah peraturan menteri tidak bisa dieksekusi, sementara developer tidak ada kepastian," ujar Surya.
Akhirnya, kata dia, pemerintah pun mengeluarkan kembali aturan yang mengembalikan harga listrik agar bisa diterima PLN, yaitu 85 persen dari Biaya Pokok Penyediaan Listrik oleh PLN.
Namun, Surya mengatakan BPP PLN itu diambil dari bauran energi di PLN, baik yang dibangun di masa lalu dan yang saat ini. "Lalu dibandingkan dengan energi yang baru dibangun, tidak apple to apple. Jadi itu pasti tidak memiliki nilai keekonomian. Ini mungkin yang dikeluhkan, dan sekarang saya kira sudah direspon dengan baik. Itu akan dituangkan dalam perpres," ujar dia.
Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya menjelaskan perkara up and down yang dimaksud Surya. Ia menyebut regulasi yang kerap berubah adalah yang di tingkat menteri.
"Kalau regulasi level undang-undang atau perpres itu belum berubah. tapi yang berkaitan dengan peraturan menteri memang ada beberapa kali perubahan. Yang kita dipakai Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang sudah beberapa kali direvisi untuk akomodir pengembangan EBT," ujar Harris.
Perkara berubah-ubahnya regulasi itu, menurut Harris, telah menjadi catatan pemerintah. Sehingga, sekarang, aturan yang mengatur harga EBT akan diangkat menjadi Perpres. "Harapannya kalau menjadi Perpres, semua akan melaksanakan sesuai yang diatur di dalam perpres."
CAESAR AKBAR
Baca juga: Erick Thohir: Jangan Buat Kebijakan yang Menghambat Transformasi Energi Nasional