Kemudian, Venan menyebut pembangunan sumor bor sebagai bagian dari sarana dan prasarana Pulau Rinca akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Dia khawatir keberadaan sumur bor justru akan mematikan sumber-sumber air di kawasan Pulau Rinca, yang selama ini menjadi tempat hidup satwa liar.
“Pembangunan seperti itu sangat mencederai desain besar pembangunan pariwisata serta sangat merugikan kami sebagai para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat,” tuturnya. Seumpama benar-benar terealisasi, Venan mengatakan pembangunan Pulau Rinca akan berpotensi mengancam sektor pariwisata berbasis alam sebagai produk utama Labuan Bajo. Lebih lanjut, pembangunan Pulau Rinca diduga hanya melayani kepentingan investor.
Sementara itu, Ketua Formapp Aloysius Suhartim Karya mengatakan kelompoknya menuntut pemerintah segera menghentikan rencana pembangunan sarana dan prasarana di kawasan Pulau Rinca. “Kami juga menuntut pemerintah untuk membuka informasi seluas-luasnya terkait dengan pembanguna dan segera melakukan konsultasi publik terlebih dulu,” ucapnya.
Formapp juga mengutuk upaya mengalihfungsikan Taman Nasional Komodo menjadi kawasan investasi. Alih-alih membuka ruang investasi yang merugikan, kelompok masyarakat itu meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya pelestarian di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan Flores sebagai bentuk pemeliharaan aset jangka panjang.
Sejauh ini, Formapp tiga kali melayangkan protes, namun tak memperoleh respons dari pemerintah. Protes pertama berupa unjuk rasa di kantor DPRD Manggarai Barat. Kemudian, Formapp telah mengirimkan surat ke Komisi Komisi IV, V , dan X DPR. Terakhir, kelompok itu melayangkan surat ke UNSECO dan UNEP pada 9 September 2020.
Baca juga: Proyek Jurassic Park Pulau Rinca Ditolak Forum Masyarakat Pariwisata, Sebabnya?
FRANCISCA CHRISTY ROSANA