TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Agus Suparmanto setidaknya ada sepuluh komoditas berorientasi pasar penjual (seller market) berpotensi mengerek kinerja perdagangan tanah air di tengah pandemi. Salah satunya adalah minyak sawit mentah (crude palm oil) dengan nilai ekspor US$ 14,7 miliar pada 2019. Komoditas ini menguasai pangsa pasar dunia hingga 53 persen.
Tak hanya sawit, Sarang burung walet merupakan produk seller market dengan pangsa sebesar 47,8 persen dengan nilai US$ 364,3 juta. Dari total ekspor dunia yang sebesar US$ 762,8 juta pada 2019, negara tujuan ekspor utama yang masih terkonsentrasi pada sebesar Cina sebesar 60,1 persen, Hongkong 23,7 persen, dan Singapura 8,5 persen.
"Pada masa Covid-19 masyarakat dunia membutuhkan kekuatan dan imunitas sehingga permintaan produk ini meningkat tajam," ujar Agus dalam sebuah diskusi virtual, Rabu 22 Juli 2020.
Kemudian, ada cengkeh dengan pangsa pasar 36,1 persen dengan nilai US$ 111,5 juta dari total ekspor dunia sebesar US$ 309,2 juta pada 2019. Negara tujuan ekspornya sebagian ke India 31,3 persen, Arab Saudi 11 persen dan Uni Eropa 7,7 persen.
Selain didorong naiknya permintaan produk berbahan baku natural, ekspor didukung perkembangan industri herbal, seperti India dan Taiwan. "Namun tantangannya adalah food safety, sustainable, dan organik," ujar Agus.
Produk seller market lainnya adalah oleo chemical dengan pangsa 31,9 persen, margarin sebesar 13 persen, cocoa butter sebesar 12,9 persen, tissue sebesar 18,9 pesen, flooring dari kayu sebesar 12,7 persen, timah sebesar 24,7 persen, dan nikel sebesar 28 persen. Dalam pendekatan pasarnya, Agus mengatakan dalam satu tahun ke depan difokuskan pada negara yang penanganan covid 19 yang mulai pulih atau sudah pulih.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo menuturkan produk perikanan masih memiliki kinerja positif di tengah pandemi. Menurut dia, capaian tersebut terjadi bersamaan dengan Vietnam, Thailand, Filipina, India melakukan penutupan akses atau lockdown keras. Sementara Indonesia, ujar Nilanto, didukung kondisi negara kepulauan, pembudidaya dan nelayan tetap produksi.