Namun, Nilanto menyayangkan ekspor perikanan belum memanfaatkan pasar Australia, yang mana pemenuhan konsumsi ikannya hanya 10 persen dari dalam negeri. Sayangnya, produk ikan Indonesia tidak masuk 10 besar secara volume, dikalahkan Vietnam, Thailand, dan Filipina. "Padahal, titik terdekat terbang (Indonesia-Australi) hanya 3-5 jam. Seandainaya bisa konsolidasi di titik terluar niscaya pasar Australia akan terbuka," ujar Nilanto.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim mengatakan produk kopi olahan asal Indonesia berpeluang mengambil ceruk di pasar ekspor. Sayangnya, kenaikan impor kopi beberapa negara tidak sejalan dengan ekspor kopi Indonesia ke negara itu, bahkan ada penurunan. "Ini bisa jadi peluang bahwa sebetulnnya ada beberapa negara permintaan meningkat, tapi pemintaan impor dari negara lain lebih besar (dari Indonesia)," ujar Rochim.
Ia menyebutkan negara-negara yang mengalami peningkatan impor kopi, di antranya Inggris, Italia, Maroko, Hongkong, Jepang, Taiwan, Yunani, Saudi Arabia, Timor Leste, Malaysia, FIlipina, Korea Selatan, Jerman, Taiwan, Korea, UEA, Brazil, dan Brunei. Namun, produk kopi olahan asal Indonesia mengalami hambatan mulai dari tarif, isu penyakit atau hama, penetapan standar baru, standar keamanan pangan, dan lainnya.
"Namun, terdapat ceruk baru pasar dunia untuk single-origin coffee atau kopi yang berasal dari daerah, namun terhambat sertifikasi indikasi geografis," ujar Rochim. Ia berharap akan semakin banyak yang mendapatkan sertifikat ini tersebut.
Ketua Komisi Tetap Hortikultura Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Karen Tambayong berharap pemerintah bisa memanfaatkan Batam, Kepulauan Riau, sebagai hub produk pertanian. Dengan adanya hub di Batam, Karen berharap, Indonesia bisa mengekspor produk pertanian ke Singapura sebagai salah satu negara importir pangan.