TEMPO.CO, Jakarta - Bos baru Dana Moneter Internasional atau IMF, Kristalina Georgieva, memperkirakan perekonomian global yang tengah goyah bakal meluas. "Saya melihat adanya risiko serius bahwa perlambatan akan menyebar," ujar beberapa waktu lalu, dikutip melalui Bloomberg, Ahad, 13 Oktober 2019.
IMF diperkirakan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari proyeksi sebelumnya pada kisaran 3,2 persen, yang merupakan laju terendah sejak 2009. Sementara pelacak produk domestik bruto global Bloomberg Economics menunjukkan laju ekspansi telah melambat menjadi 2,2 persen pada kuartal ketiga, turun dari 4,7 persen pada awal 2018.
Kekhawatiran perlambatan tetap ada meskipun pada akhir pekan lalu sempat ada sinyal positif setelah perundingan dagang Amerika Serikat dan Cina ditutup dengan perjanjian dagang parsial. Tak hanya itu, juga muncul tanda-tanda bahwa Inggris akan mencapai kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.
Perdebatan tentang seberapa dekat ekonomi global dengan risiko resesi pertamanya sejak 2009 diperkirakan menjadi bahasan utama banyak pihak. Sejumlah diskusi penting diagendakan pada pekan ini, di antaranya pertemuan tahunan IMF) dengan Bank Dunia yang dijadwalkan bertempat di Washington.
Di sisi lain, pedagang obligasi dilanda kekhawatiran, di mana obligasi senilai US$ 14 triliun memiliki imbal hasil negatif. Sebaliknya, investor ekuitas telah mendorong MSCI World Index naik 14 persen tahun ini.
Baca Juga:
Tom Orlik, Kepala Ekonom di Bloomberg Economics, mengatakan banyak yang harus diperbaiki agar dunia terhindari dari perlambatan besar. Perang dagang, pelemahan manufaktur, isu geopolitik, tekanan pada profit, pengetatan kebijakan moneter, dan pemerintah yang kurang aktif bergerak merupakan sejumlah alasan yang patut diperhatikan untuk menghadapi risiko perlambatan yang meluas.
Tidak diragukan lagi, produsen adalah korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut. Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang memberi hambatan untuk ekonomi Jerman dan Jepang yang sangat bergantung dengan ekspor.