Hal ini sejalan dengan estimasi media ekonom dalam survei Bloomberg untuk pemangkasan menjadi 5,25 persen. “Meski masih menunggu sinyal The Fed nanti malam tetapi kemungkinan turun lagi menjadi 5,25 persen,” ujar Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro.
Nilai tukar rupiah pun hari ini berhasil ditutup menguat 33 poin atau 0,23 persen di level Rp 14.067 per dolar AS, setelah jeblok selama dua hari perdagangan berturut-turut sebelumnya. Padahal, pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau naik 0,20 persen atau 0,192 poin ke posisi 98,453.
Sementara itu, pasar saham global berakhir variatif, menjelang rilis keputusan The Fed yang diantisipasi akan kembali memangkas suku bunga acuannya. Indeks Topix dan Nikkei 225 Jepang masing ditutup turun 0,49 persen dan 0,18 persen. Namun indeks Shanghai Composite dan CSI 300 Cina masing-masing mampu berakhir naik 0,25 persen dan 0,48 persen.
Meski The Fed hampir bisa dipastikan akan kembali menurunkan suku bunganya sebesar 25 basis poin, investor menunggu pernyataan dan proyeksi ekonomi dari para pembuat kebijakan The Fed, mengingat adanya tanda-tanda pandangan yang terbagi di antara mereka.
“Pelaku pasar saat ini sangat berhati-hati. Mereka sedang menunggu pertemuan The Fed dan potensi perkembangan baru di Arab Saudi,” ujar Christophe Barraud dari Market Securities di Paris. “Untuk pertemuan The Fed, pasar tidak bertaruh untuk kejutan positif yang besar."
Harga minyak bergerak stabil setelah terjungkal pada perdagangan Selasa lalu. Saudi Aramco mengatakan telah menghidupkan kembali 41 persen kapasitas di kompleks pemrosesan minyak mentah utamanya.
Langkah tersebut berhasil dilakukan hanya beberapa hari setelah serangan udara menghancurkan kilang Saudi Aramco pada Sabtu pekan lalu. Kondisi ini pun mengguncang pasar energi global dan mendongkrak kenaikan harga minyak secara tajam pada Senin lalu.
Sementara itu, kekhawatiran tentang ketegangan perdagangan tampak berlarut-larut. Tim perunding AS dan Cina akan memulai kembali perundingan menjelang pertemuan para pejabat pemerintahan level atas pada awal Oktober di Washington.
Perang dagang Amerika Serikat dan Cina yang sedang berlangsung telah meningkatkan kekhawatiran para pembuat kebijakan tentang melambatnya produksi manufaktur meskipun konsumsi domestik yang tangguh telah memberi beberapa alasan untuk mengkhawatirkan pemotongan suku bunga yang terlalu cepat.