TEMPO.CO, Jakarta - Ekspor Indonesia terhadap Cina diperkirakan menurun jika pertumbuhan ekonomi Negeri Panda menurun akibat perang dagang dengan Amerika Serikat. Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa menuturkan hal ini dikarenakan sebagian besar ekspor Indonesia ke Cina merupakan produk komoditas seperti batu bara, sawit, mineral.
“Jadi kalau Cina terganggu produksinya, kita juga terganggu ekspornya,” kata Erwin di sela-sela Munas Hipmi 2019, Senin, 16 September 2019.
Bukan hanya Indonesia yang akan terkena dampak perang dagang, menurut Erwin, juga negara-negara lain di dunia. “Kalau Cina turun, maka semua negara di dunia turun, karena Cina gak hanya pengaruhi Indonesia tapi juga seluruh dunia, afrika, asean, dan negara lain. Cina kan butuh bahan baku yang banyak dari negara-negara tersebut.”
Sementara itu, dalam pembukaan musyawarah nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia yang ke-XVI, Presiden Joko Widodo memperingatkan dunia usaha mengenai potensi resesi ekonomi yang dapat terjadi pada 1 hingga 1,5 tahun yang akan datang dikarenakan masih adanya tekanan eksternal berupa perang dagang AS dan Cina yang masih terus berjalan.
“Perang dagang masih terus berjalan, masih menghantui kita. Tekanan-tekanan eksternal baik berupa kemungkinan potensi resesi pada 1 atau 1,5 tahun yang akan datang sudah mulai dikalkulasi, mulai dihitung-hitung oleh para pakar,” kata Jokowi.
Jokowi mengatakan bahwa situasi ekonomi dunia saat ini penuh ketidakpastian dan beberapa negara bahkan sudah masuk dalam proses resesi ekonomi.
“Oleh sebab itu kita harus mempersiapkan diri agar tidak terkena dampak dan bahkan dengan situasi seperti itu kalau bisa kita mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada, sehingga menguntungkan negara kita.”
Sebagai informasi, mengutip laman Reuters, Perdana Menteri Cina Li Keqiang mengakui sulit bagi negaranya untuk membukukan pertumbuhan ekonomi di level 6 persen di tengah kondisi internasional saat ini.
Selain itu, ekonomi Cina sudah tumbuh tinggi pada tahun-tahun sebelumnya sehingga tak mudah untuk mencatatkan kinerja yang sama.
Li menerangkan negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia itu menghadapi tekanan tertentu sejalan dengan melambatnya perekonomian global. Dia juga menyampaikan meningkatnya paham proteksionisme dan unilateralisme turut menjadi faktor lain.