TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Negara Sofyan Djalil memastikan lokasi ibu kota baru nantinya tidak akan mengganggu tanah adat atau tanah ulayat. "(Tanah adat) tetap diakui," ujar Sofyan di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu, 4 September 2019.
Ia mengatakan, ibu kota baru diutamakan dibangun di atas tanah negara. Salah satunya adalah wilayah hutan tanaman industri yang akan dikonversi menjadi tanah negara.
Menurut Sofyan, pemerintah saat ini masih akan menentukan terlebih dahulu lokasi Ibu Kota baru tersebut. Untuk lokasi inti Ibu Kota Baru, Sofyan memastikan tidak ada tanah warga maupun tanah adat yang terpakai.
Meskipun, pada pengembangannya, bisa saja ada lahan warga yang mesti dibebaskan, misalnya untuk infrastruktur. Apabila itu terjadi, Sofyam mengatakan pembebasan akan dilakukan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya telah mengumumkan bahwa ibu kota negara Republik Indonesia akan dipindahkan dari Jakarta ke sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Belakangan, pemerintah berencana menjual tanah secara langsung kepada konsumen yang berminat memiliki tempat tinggal di ibu kota baru.
Jokowi mengatakan penjualan tanah adalah salah satu opsi yang sedang dimatangkan dalam memenuhi sumber pembiayaan pembangunan ibu kota. Menurut dia, pemerintah sudah menyiapkan lahan seluas 180.000 hektare di dua wilayah tersebut. Dari total lahan tersebut, pada tahap pertama akan dipakai lahan seluas 40.000 hektare, dan hanya 10.000 hektare di antaranya untuk kantor pemerintahan.
“Jadi, sisanya bisa dimiliki langsung oleh warga. Bukan pengembang, dengan pasar properti sekarang, kalau jual tanah di ibu kota baru Rp 2 juta per meter (persegi) saya rasa tidak mahal. Kita bisa cek harga tanah di pinggiran Jobodetabek saja sudah Rp 5 jutaan,” tutur Jokowi.
CAESAR AKBAR | BISNIS