TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, Kamis 22 Agustus 2019, Bank Indonesia bakal mengelar konferensi pers untuk mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur. Sejumlah ekonom, sebelumnya mendorong BI untuk melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunganya.
Rates Strategist DBS Group Research atau Bank DBS Eugene Leow mengungkapkan prediksinya, bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang ketat oleh Bank Indonesia masih mungkin dilakukan. Meski begitu, peluang untuk mempertahankan stance kebijakan moneter juga masih terbuka.
"Pelonggaran lebih lanjut dari kebijakan moneter kemungkinan dilakukan, tetapi kami menduga bahwa untuk saat ini, BI hanya akan merasa nyaman menyamai laju penurunan suku bunga The Federal Reserve atau Bank Sentral AS," kata Leow dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu 21 Agustus 2019.
Salah satu penyebabnya, adalah risiko pendanaan eksternal yang masih menjadi isu dalam lingkungan yang bergejolak saat ini. Selain itu, dengan defisit transaksi berjalan yang terus melebar hingga melampaui 3 persen dalam dua triwulan berturut-turut, menjadi salah satu alasan BI enggan melonggarkan kebijakannya seperti dibandingkan dengan bank sentral lain.
Sejak awal tahun hingga hari ini Bank Indonesia baru sekali menurunkan tingkat suku bunga acuan atau BI7DRRE sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada 18 Juni 2019. Adapun sepanjang 2018 kemarin, bank sentral telah menaikkan tingkat suku bunga 175 basis poin mencapai 6,0 persen.
"Kami berpendapat bahwa pelonggaran terukur dari Bank Indonesia dalam beberapa triwulan ke depan dapat mendukung obligasi pemerintah Indonesia," tulis Leow.
Adapun saat ini, obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun menawarkan imbal hasil 600 basis poin lebih besar dari surat utang pemerintah Amerika Serikat. Menurut catatan DBS, kepemilikan asing pada obligasi pemerintah meningkat lebih dari Rp1.000 triliun sepanjang tahun ini.
Leow menilai selisih imbal hasil obligasi tersebut masuk dalam kategori tinggi. Hanya ada dua peristiwa yang memungkinkan selisih imbal hasil melebar jauh, yakni saat krisis keuangan global 2008/2009 dan kekhawatiran devaluasi Cina pada 2015.
Leow juga berpendapat bahwa fokus Bank Indonesia pada stabilitas rupiah dan melunakkan volatilitas harga obligasi harus memberikan kenyamanan bagi pemodal.
DIAS PRASONGKO