TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo menyatakan pihaknya pada tahun ini bakal tetap mengarahkan kebijakan moneter untuk lebih pro stabilitas demi menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah.
Baca: Alasan BI Tak Naikkan Suku Bunga Acuan Seperti The Fed
Empat instrumen lain yakni makroprudensial, pedalaman pasar keuangan, sistem pembayaran dan ekonomi dan keuangan syariah, kata Perry, akan disetir untuk lebih pro pertumbuhan yang akomodatif.
"Kebijakan yang preemptive dan ahead the curve akan tetap kita tempuh, dan kebijakan moneternya pro-stability, namun pada kesempatan yang sama kebijakan lain, makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, sistem pembayaran dan ekonomi keuangan syariah itu akan pro-growth," ucap Perry, Rabu, 2 Januari 2019.
Di sektor makroprudensial, kata Perry, BI akan mengkaji instrumen baru untuk fokus mendorong sektor pariwisata, ekspor dan UMKM. Selain itu, BI akan mendorong perbankan Tanah Air untuk menyalurkan wholesale funding selain retail funding. "Demikian juga pembiayaan, tidak hanya kredit. Tetapi juga pembiayaan obligasi dari korporasi," ucapnya.
Arah kebijakan bank sentral yang tampak lebih fokus ke arah pro stabilitas dan pro pertumbuhan didasari oleh faktor pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih baik pada 2019.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi mengarah kepada titik tengah 5,2 persen dari kisaran sasaran 5-5,4 persen pada tahun ini. Secara keseluruhan lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan tahun 2018 yang diperkirakan BI akan berada di kisaran 5,1 persen. "Yang perlu ditegaskan pertumbuhan ekonomi berasal dari sumber pertumbuhan ekonomi domestik yang cukup kuat baik dari konsumsi maupun investasi," kata Perry.
Pertumbuhan konsumsi diyakini masih bisa mencapai 5,2 persen didorong oleh dampak Pemilu 2019, sementara investasi bisa tumbuh sekitar 7 persen. Sayangnya, BI masih melihat adanya permasalahan net eksternal demand atau posisi ekspor yang dikurangi impor yang kemungkinan masih negatif pada 2019.
Kendati demikian, Perry meyakini defisit transaksi berjalan akan turun dibandingkan tahun lalu. "Tahun 2019 sekitar 2,5 persen terhadap PDB," katanya. Turunnya defisit transaksi berjalan tersebut akan mempengaruhi neraca pembayaran yang diperkirakan berbalik surplus pada 2019.
Seperti diketahui, neraca pembayaran pada 2018 diperkirakan akan mengalami defisit. Defisit ini tidak dapat dihindari meskipun neraca pembayaran berbalik surplus pada kuartal IV/2018 sebesar US$ 4 miliar. Untuk inflasi, BI memperkirakan tahun depan inflasi akan mencapai 3,5 persen pada tahun ini atau tepatnya berada di titik tengah dari kisaran sasaran 3,5 persen plus minus 1 persen.
Lebih lanjut, pertumbuhan kredit pada 2019 akan tumbuh di kisaran 10-12 persen. Sementara itu, dana pihak ketiga diperkirakan tumbuh sebesar 8-10 persen. Melihat pertumbuhan permintaan kredit yang lebih tinggi dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), Perry menegaskan BI akan berkomitmen untuk tetap menjaga likuiditas. "Akan kami jaga sehingga cukup bagi perbankan untuk menyalurkan kredit," katanya.
Baca: BI: Industri Halal RI Tertinggal dari Negara Mayoritas Non Muslim
Terkait nilai tukar, BI optimistis pergerakan nilai tukar rupiah pada tahun ini akan lebih baik dan cenderung menguat dari tahun lalu. Faktor pendukung penguatan rupiah tersebut antara lain adalah kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang memang lebih rendah dari perkiraan awal, kredibilitas kebijakan yang ditempuh oleh BI dan pemerintah, defisit transaksi berjalan yang lebih rendah, dan mekanisme pasar uang yang semakin berkembang dalam negeri, baik di pasar spot dan swap, dan NDF.
BISNIS