TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah sepakat bahwa Indonesia perlu lebih banyak menggunakan instrumen trade remedies atau kebijakan perlindungan perdagangan dalam negeri, khususnya untuk menjaga agar produk impor tak membanjiri pasar dalam negeri. Dalam perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), ada tiga instrumen yang diizinkan yaitu antidumping, antisubsidi, dan kebijakan safeguard.
Baca: Budi Waseso: Data Beras BPS Surplus, Impor Tidak Diperlukan
Ketua Komite Anti Dumping Indonesia, Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi menilai ketiga instrumen itu harus semakin digencarkan agar pasar dalam negeri tidak banjir begitu saja oleh barang impor. Tapi ia tetap enggan menggunakan kalimat proteksionisme. "Proteksionisme itu kalau mereka free trade, terus kita larang," kata Bachrul saat ditemui dalam diskusi di Menara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Jakarta Selatan, Selasa, 30 Oktober 2018.
Antidumping merupakan kebijakan suatu negara importir untuk melarang negara eksportir menjual produk lebih murah dari harga domestik. Sementara lewat antisubsidi, negara importir melarang negara eksportir memberi subsidi pada produsen mereka sehingga harga produk menjadi lebih murah Sementara kebijakan safeguard adalah kebijakan pengamanan industri dalam negeri dengan mengenakan tarif, bea masuk, hingga kuota, pada produk impor.
Indonesia, kata Bachrul, hanya harus menggunakan lebih banyak haknya terhadap negara lain yang menjual barang ke Indonesia secara tidak jujur, yaitu yang menerapkan dumping atau subsidi sehingga harga barang menjadi murah. Masalahnya, Bachrul mencontohkan, dari 7 sampai 8 kasus kecurangan perdagangan, Indonesia baru bisa menyatakan sikap pada satu kasus pada 2017. "Negara lain menyebut Indonesia is a good boy (Indonesia adalah anak yang baik)."
Di sisi lain, barang ekspor Indonesia ke negara lain telah lebih banyak dikenai kebijakan antidumping hingga tarif dan bea masuk yang tinggi di negara tujuan. Tak hanya menghakimi barang yang diperdagangkan secara tidak jujur, negara-negara lain bahkan ingin mematikan negara eksportir. Tapi Bachrul mengatakan, Kementerian Perdagangan belum terfikir untuk menerapkannya sejauh itu.
Saat ini, dinamika perekonomian global memang berubah setelah Presiden Donald Trump yang mulai menjabat pada 20 Januari 2017 lalu, mengganti haluan Amerika Serikat, dari semula menentang, kini justru menerapkan proteksionisme. Hasilnya ekonomi Amerika terus membaik di saat negara maju lainnya mengalami perlambatan ekonomi. Pengangguran turun menjadi 4,5 persen, penyerapan tenaga kerja tembus 1 juta orang, dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) meningkat.
Ketua Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Mardjoko mengatakan bahwa Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebenarnya telah memiliki sikap tegas soal ini. "Pak Enggar udah bilang, gak perlu good boy atau bad boy, hantam saja!" Menurut Enggar, Indonesia tidak perlu takut kalah atau terlalu berhati-hati menerapkkan ketiga kebijakan itu, terutama bagi negara importir yang curang, selama ada bukti yang jelas.
Berbeda dengan Bachrul, Mardjoko menyebut kebijakan untuk mematikan barang impor dari negara lain sebenarnya bisa saja dilakukan. Ia mencontohkan, Indonesia bisa saja mengenakan Bea Masuk Anti Dumping atau BMAD hingga 100-200 persen pada jenis barang tertentu, sehingga secara tidak langsung akan menghambat impor barang tersebut. "Yang penting ada dasarnya, tidak membabi buta," kata dia.
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati mengatakan barang asal Indonesia memang menjadi salah satu yang paling dicurigai ketika masuk negara lain. Indonesia menjadi negara eksportir keempat di dunia yang paling sering dituduh melakukan subsidi perdagangan oleh negara lain. Lalu Indonesia juga menjadi negara ketujuh di dunia yang paling sering dikenakan bea masuk bea masuk imbalan atau countervailing duties (CVD).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mendukung perluasan penerapan ketiga instrumen itu. "Trade remedies harus dikuatkan," kata dia. Ia menilai Indonesia masih kurang dalam melakukan trade remedies, di saat negara lain sangat protektif.
Baca: Silang Pendapat Sandiaga dan Enggartiasto soal Bawang Merah
Bentuk trade remedies pun, kata Benny, di negara lain sangat bervariasi dan cerdas. Ia mencontohkan Amerika Serikat yang menerapkan larangan impor di bulan-bulan tertentu. Indonesia pun menilai kebijakan serupa bisa saja diterapkan saat Indonesia tengah memasuki masa lebaran agar tidak terjadi banjir barang impor di saat permintaan sedang tinggi-tingginya. "Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?" ungkap Benny.