TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia menyebut volume impor Indonesia pada triwulan II 2018 bertumbuh hampir dua kali lebih cepat dibandingkan dengan ekspor. "Ekspor netto mengalami kontraksi yang secara keseluruhan membebani pertumbuhan ekonomi," ujar Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander di The Energy Building, Jakarta, Kamis, 20 September 2018.
Baca: Kemenkeu Targetkan Tekan Impor Tahun Depan di Kisaran 7,1 Persen
Frederico mengatakan naiknya harga minyak mentah dan berlanjutnya investasi peralatan menyebabkan nilai nominal impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor. Imbasnya surplus perdagangan barang ikut berkurang.
Perihal impor, ujar Frederico, berkontribusi pada defisit transaksi berjalan menjadi 2,3 persen dari produk domestik bruto di empat triwulan, sampai triwulan ke-2. "Pelebarannya sebesar 1 poin selama satu tahun terakhir ini."
Berdasarkan laporan perekonomian Indonesia Bank Dunia edisi September 2018, Sander mengatakan sampai triwulan II 2018, investasi langsung bersih alias investasi langsung di Indonesia dikurangi investasi Indonesia di luar negeri, berkurang menjadi 1,7 persen dari produk domestik bruto. "Belum cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan sejak triwulan ke-1 tahun 2018," ujar Frederico.
Secara umum, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada triwulan dipicu tingginya permintaan dalam negeri. Konsumsi swasta dan pemerintah tumbuh lebih cepat berkat adanya subsidi dan belanja pegawai yang lebih tinggi pada periode ini. "Selain itu, peningkatan dalam pertumbuhan kredit, pendapatan di sektor pertanian, hingga inflasi yang stabil juga ikut berkontribusi," kata Frederico.
Belum lagi, pertumbuhan kuartal II juga terdorong pasar tenaga kerja yang terpantau kuat. Frederico menyebutkan tingkat tenaga kerja Indonesia mencapai titik tertinggi dalam dua dekade terakhir, yakni sebesar 65,7 persen pada Februari 2018, dengan tingkat pengangguran turun ke 5,1 persen.
Meskipun, secara keseluruhan, pembentukan modal tetap bruto melambat pada kuartal II 2018 lantaran investasi di sektor gedung dan bangunan melambat. Perlambatan itu disebabkan oleh hari kerja yang lebih sedikit pada periode ini. Di sisi lain, tingkat proteksionisme perdagangan global meningkat karena ekspor maupun impor bertumbuh pada periode tersebut.
Kepala Badan kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya mengestimasi pertumbuhan impor hingga akhir tahun ini mencapai 11 persen. Angka tersebut bakal turun di tahun depan, menyusul terus melemahnya nilai tukar rupiah. "Kalau rupiah melemah pertumbuhan impor positif tetapi menurun," ujar dia di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 18 September 2018.
Baca: Pemerintah Keluarkan Izin Impor Gula Mentah 577 Ribu Ton
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kurs menyentuh level Rp 14.908 per dolar AS pada Selasa. Angka tersebut menunjukkan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan sebanyak 49 poin ketimbang Senin, 17 September 2018, yakni Rp 14.859 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini yang diperkirakan bakal menyeret penurunan impor.