TEMPO.CO, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah yang dialami oleh Indonesia dinilai oleh Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A Chaves bukan sebagai hal yang harus sangat dikhawatirkan. Ia tak setuju dengan banyak pengamat yang mengkhawatirkan makin anjloknya nilai tukar rupiah lantaran banyaknya arus keluar modal. Sejak awal tahun, rupiah disebut terdepresiasi sekitar 9 persen.
Baca: Rupiah Loyo, Pengusaha Ini Sebut Warga RI Tak Pantas Beli Hermes
Kondisi tersebut, menurut Rodrigo, membuat orang banyak membandingkan kondisi perekonomian saat ini dengan tahun 1997. "Faktanya, kondisi tahun 2018 tidak sama dengan 1997 maupun 2013, posisi Indonesia jauh lebih kuat daripada dulu," ujar Rodrigo di The Energy Building, Jakarta, Kamis, 20 September 2018.
Rodrigo menilai Indonesia kini memiliki fundamental ekonomi yang kuat didukung dengan kebijakan pemerintah yang cekatan dalam mengantisipasi berbagai risiko terhadap perekonomian dalam negeri.
Saat ini, kata Rodrigo, pasar global memang tengah bergejolak akibat kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikan suku bunga plus kebijakan ekspansi fiskal Presiden Donald Trump. Imbasnya, dolar AS pun pulang kembali dari negara emerging ke kampung halamannya.
Belum lagi kebijakan tarif impor barang-barang Cina yang memicu perang dagang antara dua negara adi daya itu. Tarif untuk sejumlah barang Cina bakal naik menjadi 25 persen bila perundingan antara dua negara ini tak juga rampung.
Kejadian-kejadian tersebut lantas menjadi faktor yang menekan nilai tukar banyak negara, tak terkecuali rupiah. Belakangan, peso dan lira menjadi korban dari kebijakan tersebut. Banyak investor asing yang keluar dari Turki dan menyebabkan krisis di negeri kebab.
Namun, di Indonesia, nilai tukar lebih fleksibel dan bisa dimanfaatkan. Pasalnya, dalam kondisi ini impor bakal menjadi lebih mahal, sementara barang ekspor akan menjadi lebih murah. "Ini tentu memberi keuntungan," ujar Rodrigo.
Sementara pada era 1997, kondisi perekonomian lebih tidak seimbang lantaran nilai tukar tetap tetapi harga-hara melambung di dalam negeri. Nilai tukar riil menjadi kelewat tinggi lantaran permintaan yang melambung saat itu dan memengaruhi kemampuan bersaing dari segi ekspor. "Jadi kondisi nilai tukar saat ini faktanya bisa membantu dalam mengurangi defisit neraca berjalan," kata Rodrigo.
Di samping itu, Rodrigo berujar defisit neraca berjalan saat ini belum selebar di masa lalu. Serta, defisit neraca berjalan saat ini lebih dipicu oleh investasi. Pada semester pertama 2018, defisit neraca berjalan adalah 2,3 persen, atau lebih rendah dari 2013, yaitu 3 persen, maupun dengan tahun 1997 yang mencapai 2,7 persen.
"Defisit neraca berjalan tahun ini disebabkan oleh impor barang modal yang dibutuhkan untuk investasi dan pembangunan," kata Rodrigo. Defisit neraca berjalan Indonesia, menurut dia, sejatinya masih terjaga di bawah 3 persen selama hampir 20 tahun.
Rodrigo juga berbicara mengenai postur utang Indonesia. Ternyata, kata dia, bila berbicara soal persentase utang terhadap produk domestik bruto, angka Indonesia jauh lebih rendah daripada negara berkembang maupun negara-negara maju. "Pada 1997, rasio utang terhadap PDB 50 persen, sementara saat ini hanya 35 persen," kata Rodrigo.
Baca: Rupiah Menguat Jadi 14.845, Kurs Dolar Loyo
Kekhawatiran akan rupiah melemah itu, menurut Rodrigo, juga berlebihan. Karena faktanya cadangan devisa Bank Indonesia saat ini juga masih lebih tinggi dari pada 1997 dan 2013. "Kami yakin sistem imunitas dan langkah para pemangku kepentingan di negara ini kuat dan sesuai."