TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan soal gejolak perekonomian dunia kepada Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu dampak gejolak perekonomian dunia menjadi penyebab rupiah melemah hingga menyentuh Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat.
Baca: Prabowo - Sandiaga Gelar Rapat Bahas Rupiah Melemah
"Dari 2015 sampai tahun ini dan rencana ke depan, kami sadar bahwa ekonomi dunia memang bergejolak. Oleh karena itu kenaikan pertumbuhan ekonomi kita pelan, tidak bisa terburu-buru. Kalau terburu-buru akan kerepotan," kata Darmin di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 5 September 2018.
Darmin mengatakan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen di 2018 agak susah dicapai. Darmin memprediksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 hingga 5,3 persen. Di kuartal kedua tahun ini pencapaian berada 5,27 persen. "Tapi sampai akhir tahun kalau bisa 5,3 sudah bagus, tapi juga kalo 5,2 persen masih oke," ujar Darmin.
Tahun depan, kata Darmin pemerintah merencanakan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen, karena ekonomi dunia tetap belum pulih. Bahkan beberapa bulan terakhir AS mulai melakukan tekanan ke sana kemari dan melakukan perang dagang.
Tindakan AS tersebut menimbulkan terjadi tambahan gejolak dalam perekonomian dunia. Padahal sebelumnya, ekonomi dunia sudah mulai membaik. Menurut Darmin yang juga membuat terjadinya gejolak yaitu normalisasi kebijakan moneter AS yang mencetak dolar dalam jumlah banyak.
Akibat banyaknya dolar yang beredar, kata Darmin, AS memukul balik ekonomi dunia. AS memukul balik dengan menaikkan suku bunga untuk menarik dolar itu. "Lalu, di saat yang sama memang crude oil harga minyak mentah juga naik, makanya dua itu digabung menjadi cukup complicated," ujar Darmin.
Darmin mengatakan pemerintah dari awal sudah menyadari dan menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi gejolak tersebut. Namun, saat ini pemerintah akan melihat kembali gejolak yang ada dalam satu atau dua minggu ini untuk melihat apa kinerja yang dicapai.
Darmin mengatakan sebenarnya investasi sudah di Indonesia sudah baik, namun pertumbuhan ekspor masih lama. "Seandainya ekspor kita cukup baik, pertumbuhannya sama dengan impor, dan defisit transaksi berjalan tidak memburuk, itu pasti tekanan kepada kita, sama saja dengan tekanan di negara sekitar kita," ujar Darmin.
Karena itu, kata Darmin tekanan terhadap Indonesia lebih berat dibandingkan Malaysia dan Thailand, tapi relatif sama dengan Filipina dan India. Di pihak lain, kata Darmin pemerintah telah berhasil pertahankan stabilitas harga. Pada 2014, inflasi 8,4 persen, sekarang 3,5 persen lebih kurang.
Indikator lain, kata Darmin tingkat kemiskinan pertama kali dalam sejarah tembus satu digit atau 9,82 persen. Kesenjangan atau rasio gini juga turun terus, paling tidak dalam 3 tahun ini, sekarang di 0,38 sekian. Tingkat pengangguran juga turun secara konsisten.
"Sehingga fundamental ekonomi sebenarnya baik," ujar Darmin. "Pelemahan kita ada satu, transaksi berjalan".
Ada dua hal masalah dalam transaksi berjalan, yaitu karena ekspor tidak tumbuh secepat impor. Ketika ekonomi pulih, impor meningkat dengan cepat, namun ekspor belum mengimbangi.
Baca: Rupiah Melemah, BEI: Pasar Modal Masih Bagus
"Lalu, valuta asing yang masuk dari ekspor, itu tidak semua masuk, angkanya hanya 85 persen dari total ekspor, tapi kalau masuk 85 persen dan ditukar ke rupiah, itu tidak jadi masalah. Saat ini masih ada masalah karena masih 15 persen yang ditukar ke rupiah," kata Darmin.