TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas atau BPH Migas mengungkapkan dua penyebab masih terjadinya aksi penyelundupan solar di sejumlah daerah. Menurut Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, salah satu penyebabnya yaitu akibat disparitas harga antara solar bersubsidi dan solar industri.
BACA: Resmi Jadi Direktur Hulu Pertamina, Ini Kata Dharmawan Samsu
Saat ini, kata Fanshurullah, harga solar bersubsidi per liternya yaitu Rp 5.150. Sementara harga solar non-subsidi untuk industri dijual Rp 9.500 per liter. Sehingga, ada disparitas harga sebesar Rp 4.350. "Jadi ada potensi penyimpangan solar subsidi ke industri," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu, 29 Agustus 2018.
Penyebab kedua, kata Fanshurullah, yaitu titik serah BBM bersubsidi seperti solar yang hanya diatur sampai depot, bukan hingga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau SPBU. Ketentuan soal distribusi ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. "Jadi potensi penyimpangan BBM dari Depot ke SPBU bisa terjadi," kata dia.
BACA: BPH Migas Temukan Penyimpangan BBM Satu Harga di Sumenep
Kabar soal penyelundupan solar ini kembali diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto usai rapat koordinasi penanganan migas ilegal di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa, 28 Agustus 2018. Praktik penyelundupan, kata dia, terjadi mulai dari proses pengeboran, pengolahan hingga ke tahap pengangkutan solar.
Kasus terakhir terjadi pada Februari 2018. Petugas Direktorat Kepolisian Perairan Polda Banten, berhasil menggagalkan penyelundupan 8000 liter solar di kawasan dermaga di Bojonegara, Serang, Banten. Solar diselundupkan dengan cara memalsukan dokumen pemesanan solar dari PT Fajar Putra Galunggung yang dipesan salah satu kapal tag boat.
Untuk menghentikan praktik ini, Wiranto pun telah membentuk satuan tugas khusus penanganan migas ilegal. Fanshurullah mengatakan BPH Migas akan terlibat dalam satgas ini, khusus untuk penanganan penyelundupan di sektor hilir. "Satgas ini melibatkan semua stakeholder," ujarnya.
Terakhir, BPH Migas meminta Pertamina mempercepat pemasangan ujung keran bensin atau nozzle digital di 5.518 SPBU di seluruh Indonesia. Nozzle ini akan terhubung secara online dan mengirimkan data penyaluran bensin secara tepat waktu. Sehingga, penyaluran jutaan kiloliter solar di seluruh wilayah bisa terpantau secara ketat.