TEMPO.CO, Jakarta - Bayu Krisnamurthi, Mantan Wakil Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menceritakan perjuangan Indonesia melawan produk hortikultura impor asal Amerika Serikat di zamannya. Akibat upaya ini, Pemerintah Amerika Serikat meminta Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO menjatuhi sanksi US$ 350 juta atau setara Rp 5 triliun terhadap Indonesia.
Baca: Amerika Serikat Minta Izin WTO Jatuhkan Sanksi ke Indonesia
"Waktu itu konteksnya buah," kata Bayu mengawali cerita, saat ditemui selepas acara seminar nasional "Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan" bersama Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia di Jakarta, Rabu, 8 Agustus 2018.
Bayu menjabat sebagai Wakil Mennteri Perdagangan 2011 hingga 2014. Saat itu, menurut Bayu, pemerintah menyadari permintaan buah segar akan semakin meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Masalahnya buah di Indonesia dibanjiri produk impor. Maka mulailah Menteri Perdagangan kala itu, Mari Elka Pangestu dan Menteri Pertanian, Anton Apriantono mencari cara untuk meredamnya.
Baca: Ancaman Sanksi dari WTO, Ekonom: Harusnya Impor Dikurangi
Salah satu cara yaitu penerapan non-tariff barrier atau hambatan non tarif dengan memindahkan lokasi impor buah dari Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Salah alasannya yang disampaikan ke WTO adalah karena Pelabuhan Tanjung Priuk merupakan pelabuhan multifungsi untuk berbagai barang impor. Sehingga, pelabuhan ini dinilai tidak menjamin kualitas sanitasi dsn karantina buah dan juga sayuran yang baik. "Alasan itu diterima WTO."
Adapun permintaan sanksi oleh Amerika ini memang merupakan kelanjutan dari protes yang dilayangkan Amerika dan juga Selandia Baru ihwal 18 hambatan non-tarif dari pemerintah Indonesia untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal negara mereka. Beberapa produk impor tersebut yaitu diantaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.
Lantas, Amerika dan Selandia Baru mengadukan kebijakan Indonesia ini ke WTO. 23 Desember 2016, Indonesia harus menerima kekalahan di sidang tersebut. Memang ada upaya banding dari Kementerian Perdagangan, namun lagi-lagi kalah sehingga Kementerian Perdagangan dikabarkan telah melakukan sejumlah penyesuaian aturan demi menjalankan putusan WTO ini. Karena tak puas, makanya Amerika mengadu ke WTO. Permintaan Amerika ini diumumkan WTO pada Senin, 6 Agustus 2018.
Bayu melanjutkan, pemindahan pelabuhan ini sebenarnya telah berjalan lancar. "Kalau berdiskusi, kami saling berteman juga.," tutur Bayu. Sehingga dalam satu kali kesempatan negosiasi dengan Amerika dan Selandia Baru, perwakilan dari pemerintah Indonesia menyampaikan, "Deal ya, jangan tuntut kami di WTO," kata dia mengingat.
Toh, kedua negara masih tidak tinggal diam dan balik bertanya tentang opsi membuat karantina. Menurut Bayu, pasar terbesar memang ada di Jakarta dan sekitarnya. Sehingga, opsi pemindahan pelabuhan ke Surabaya yang mesti menambah ongkos distribusi bukanlah sesuatu yang diinginkan kedua negara, Amerika dan Selandia Baru.
Permintaan itu dipenuhi. Karantina buah, sayur, termasuk hewan di sekitar Jakarta memang berkembang cukup baik. Proses impor tetap dilakukan via Surabaya sembari menunggu fasilitas karantina selesai.
Pada 2013, pemerintah menerbitkan dua beleid untuk mengatur lebih jauh yakni Permendag Nomor 16 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura serta Permendag Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Produk Hewan.
Namun ternyata dalam perkembangannya, semakin ke sini aturan dari Indonesia semakin keras dan cenderung mengarah pada larangan impor. "Melarang impor itu salah," ujar Bayu. Sehingga, kedua negara kecewa dan melancarkan gugatan ke WTO pada 2016. Indonesia tidak bisa mempertahankan argumen dan akhirnya menanggung kekalahan.