TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang tak kunjung berhenti bergejolak membuat pelaku usaha kelimpungan. Terlebih bagi industri yang banyak bergantung pada bahan baku impor karena biaya produksi yang semakin membengkak. Kemarin, nilai rupiah ditutup di level 14.332 per dolar Amerika Serikat. Hingga akhir Juni lalu, kurs rupiah tercatat telah terdepresiasi 5,60 persen (year-to-date).
Salah satu industri yang besar terkena dampaknya adalah industri farmasi. “Karena 95 persen bahan baku aktif dan pendukung kami berasal dari impor,” ujar Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia Vincent Harijanto kepada Tempo, Senin 9 Juli 2018.
Baca juga: Perang Dagang AS Cina Segera Dimulai, Rupiah Makin Remuk
Vincent mengatakan industri kewalahan mengantisipasi pelemahan rupiah dan memandang tak ada solusi selain menaikkan harga. Dia mengungkapkan, dulu pelaku usaha masih bisa meminimalkan risiko fluktuasi kurs rupiah dengan lindung nilai (hedging) dalam pembelian bahan baku. “Tapi hedging kan ada biayanya, dan dulu margin keuntungan kami 10-20 persen, masih bisa untuk hedging dengan cost 2-5 persen. Nah, sekarang marginnya tinggal 5 persen, jadi enggak mungkin dipakai itu,” katanya.
Di satu sisi, opsi untuk menaikkan harga juga tak semudah itu dapat ditempuh. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan adanya kontrak jangka panjang tahunan dengan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentang suplai obat-obatan. “Kami sedang mengupayakan untuk membuat klausul baru dalam kontrak agar bisa melakukan eskalasi harga,” katanya.
Simak pula: Faktor Eksternal Bikin Nilai Tukar Rupiah Melemah Jadi Rp 14.397
Asosiasi secara aktif mulai berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan penyesuaian isi kontrak dua tahunan tersebut. “Kalau keadaan seperti sekarang, mau enggak mau harus dituangkan klausul itu. Kalau sama-sama ngotot kami ingin dituangkan dan pemerintah tidak ingin menuangkan, ya sudah, kami akan berhenti suplai,” ucapnya.
Menurut Vincent, saat ini memang masih ada sejumlah produsen besar yang sanggup menahan dengan melakukan efisiensi, bahkan memotong margin keuntungan. “Tapi tetap harus diperhatikan kalau nanti tidak ada perubahan dari waktu ke waktu, bisa-bisa menyerah semua juga.”
Direktur Utama PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menuturkan perusahaannya hingga saat ini masih terus melakukan efisiensi dan menjadikan kenaikan harga sebagai pilihan kedua. “Kami lebih melakukan efisiensi biaya dan proses produksi dan pengelolaan modal kerja, sambil terus memonitor level rupiah yang masih berfluktuasi,” ucapnya. Berdasarkan kinerja beberapa waktu terakhir, PT Kalbe Farma mengalami pertumbuhan bisnis pada periode 2015-2016 sebesar 14,7 persen menjadi 4,5 persen pada 2016-2017.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berujar pihaknya tengah mendorong agar tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk bahan baku aktif industri farmasi dapat diproduksi di dalam negeri. “Sehingga industri tidak lagi bergantung pada impor dan menghemat devisa juga, sehingga rupiah bisa stabil,” katanya.