TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak 2018 di 171 daerah yang berjalan tertib dan aman menjadi modal kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada 2019.
Ekonom CORE Indonesia, M. Faisal, mengatakan lancarnya pilkada serentak adalah indikasi yang baik untuk stabilitas menjelang pemilu presiden 2019. "Stabilitas politik modal penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," ucap Faisal, Rabu, 27 Juni 2018.
Dia meyakini efek pemilu presiden untuk mendorong konsumsi rumah tangga akan lebih masif dibandingkan dengan pilkada 2018. Pasalnya, pilkada lebih banyak membantu konsumsi rumah tangga kelas menengah-bawah dan kontribusi konsumsi rumah tangga kelas tersebut kecil. "Sekitar 40 persen pendapatan terbawah hanya 17 persen konsumsi nasional," ujar Faisal.
Baca: Pilkada Serentak, Bima Arya Umumkan Memenangi Wali Kota Bogor
Pendapat berbeda diungkapkan para pengusaha. Pelaksanaan pilkada serentak 2018 diperkirakan tak berdampak besar terhadap perekonomian. Kalangan pelaku usaha menyatakan, pada perhelatan pesta demokrasi kali ini, terjadi penurunan permintaan atribut keperluan kampanye, seperti spanduk, baliho, stiker, dan kaus.
"Kami melihat ada pergeseran metode kampanye menjadi lebih fokus di media sosial. Berapa besarnya pergeseran belum dihitung. Tapi, yang jelas, kontribusi ke perekonomian turun," tutur Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani, Selasa, 26 Juni 2018.
Penurunan permintaan alat peraga kampanye pada pilkada serentak, kata Shinta, juga disebabkan oleh adanya batasan penggunaan dana kampanye yang diterapkan bagi setiap pemerintah daerah pelaksana. Hal itu merujuk pada Pasal 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye, yang mengatur dana yang berasal dari orang lain perseorangan nilainya paling banyak Rp 50 juta. "Kalau dulu, tidak ada. Jadi, kontribusinya mungkin lebih rendah daripada pilpres (pemilihan presiden) 2014 yang hanya sekitar 0,1 persen," ucapnya.
BISNIS | CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI