TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih bergejolak di dua hari pasca libur panjang lebaran. Pada Jumat pekan lalu, kurs tengah rupiah JISDOR ditutup berada di level 14.102 per dolar AS. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kondisi tersebut merupakan hal yang wajar.
"Karena seharusnya pasar sudah mulai bergejolak ketika Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan bunga pertengahan bulan ini, tapi emosi pasar teredam akibat libur lebaran," ujarnya, kepada Tempo, Ahad 24 Juni 2018.
Baca: Bank Indonesia Jelaskan Alur Penguatan Rupiah
Piter menuturkan hal itu menyebabkan tekanan jual baru terjadi ketika pasar perdagangan kembali dibuka. Di satu sisi, dia menilai gejolak pasar tersebut juga memberikan sinyal kepada Bank Indonesja. "Gejolak itu bentuk sinyal pasar kepada BI untuk menaikkan bunga segera, kalau pasar nggak gejolak BI bisa saja salah membaca sinyal nanti," ucapnya. Bank Indonesia pun diprediksi akan kembali menaikkan bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate pada rapat dewan gubernur (RDG) 28 Juni nanti.
Menjelang kenaikan tersebut, Piter mengatakan nilai tukar rupiah kemungkinan besar masih akan terus bergejolak di sekitar level 14.000 per dolar AS, seiring dengan tingginya tingkat ekspektasi pasar terhadap kenaikan bunga. "Setelah dinaikkan 25 basis poin (bps) saja itu sudah cukup dan bisa membuat rupiah menguat di kisaran 13.800-13.900 per dolar AS), karena memang kenaikan itu yang dikehendaki pasar," ujarnya.
Baca: Rupiah ke Level 14.200, Ini Penjelasan Gubernur Bank Indonesia
Sepanjang paruh pertama tahun ini, The Fed telah menaikkan bunganya sebanyak 50 bps, begitu pula dengan Bank Indonesia. "Kalau kita naikkan sekali lagi jadi 75 bps itu sudah lebih dari cukup untuk tahun ini," katanya. Piter meyakini bank sentral ke depan tak akan lagi menunda kenaikan suku bunga, bercermin dari pengalaman kondisi beberapa bulan terakhir. Rupiah jauh melemah karena antisipasi kenaikan bunga bank sentral yang terlambat. "Mei kemarin kenaikan pertama bunga acuan kan pasar expect 50 bps tapi ternyata hanya naik 25 bps, jadi kondisi ini menjadi pelajaran berharga bagi BI."
Selain akan bertindak lebih lugas dalam mengambil keputusan di tengah ketidakpastian pasar, Bank Indonesia juga akan terus melanjutkan bauran kebijakan lainnya, khususnya dari sisi makroprudensial untuk mengimbangi pengetatan moneter akibat kenaikan bunga. "Kebijakan bunga untuk stabilitas nilai tukar dan menjaga capital flow, lalu pelonggaran loan to value (LTV) dan giro wajib minimum (GWM) itu untuk menjaga likuiditas, ini keseimbangan yang patut diapresiasi," ucapnya. Adapun total dalam sepekan kemarin, nilai tukar rupiah tercatat terdepresiasi sebanyak 1,1 persen.
Baca: Bank Indonesia Naikkan Suku Bunga, Ini Kata Bos BEI
Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan lembaganya telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Misalnya, dengan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder sebanyak Rp 15 triliun (year to date) untuk menahan pelemahan rupiah. "Karena level Rupiah saat ini sedikit masih overshoot, istilahnya memang sedang mencari keseimbangan baru karena saat libur di luar ada banyak gejolak," katanya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan tingkat pelemahan rupiah secara year to date sebesar 3,8 persen. "Ini tolerable kalau dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, jadi lihatnya jangan hanya dari satu hari kemarin saja," katanya. Dia menegaskan ke depan bank sentral akan terus mengupayakan langkah pre-emptive, tak terkecuali menaikkan suku bunga acuan lagi. Sehingga, nilai aset di pasar keuangan domestik tetap akan menarik. "Kami juga akan melakukan langkah stabilisasi secara langsung melalui dual intervention, dan menjaga likuiditas dalam negeri."
GHOIDA RAHMAH | CAESAR AKBAR