TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development Economics and Finance, Bhima Yudistira, mengatakan sejumlah negara maju menggunakan patokan nilai dibanding jumlah dalam ketentuan batasan barang bawaan dari luar negeri atau tarif bea masuk.
Menurut Bhima, patokan berdasarkan nilai cenderung memudahkan prosedur bea masuk, baik bagi petugas bea cukai maupun masyarakat. "Contoh United Kingdom, maksimum personal goods 390 pound sterling atau setara 7,1 juta rupiah," katanya saat dihubungi Tempo, Minggu, 31 Desember 2017.
Baca: Soal Pengenaan Bea Masuk Barang Digital, Begini Kata Sri Mulyani
Sebelumnya, Indonesia menaikkan nilai maksimal bawaan dari US$ 250 menjadi US$ 500. Selain itu, aturan baru membatasi jumlah barang bawaan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan barang yang dibatasi untuk pembebasan bea masuk tersebut adalah elektronik maksimal dua buah, arloji maksimal dua buah, tas maksimal tiga buah, dan pakaian maksimal 10 potong.
Negara tetangga, seperti Singapura, kata Bhima, juga berpatokan pada nilai barang bawaan 400 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 5,4 juta. Sedangkan Malaysia hampir mirip dengan Indonesia berdasarkan jumlah barang dan nilai.
"Malaysia batas maksimal bea masuk 200 batang rokok atau 225 gram tembakau, maksimal 1 liter wine, spirits atau malt liquor, maksimal 3 pakaian, satu set sepatu. Semua barang lain, seperti hadiah dan lainnya, sebesar MYS 400, kecuali barang dari Langkawi dan Labuan, maksimal MYR 500," ujar Bhima.
Sedangkan Thailand mematok batas maksimum barang bawaan dengan nilai 80 ribu bath atau sekitar Rp 33,2 juta. "Negara-negara itu, kalau lebih dari jumlah itu, ada bea masuknya, GST (general service tax) atau VAT (pajak pertambahan nilai/PPN)," ucapnya.