Pengusaha Berharap Pemerintah Tinjau Kembali Aturan Pajak Hiburan 75 Persen untuk Industri Spa
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Grace gandhi
Jumat, 19 Januari 2024 06:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA) Yulia Himawati berharap pemerintah meninjau kembali untuk merevisi aturan pajak hiburan tertentu antara 40-75 persen, khususnya pada industri spa.
Aturan itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
“Mudah-mudahan segera diproses. Badan Lengislasi DPR juga harus bekerja lagi meninjau kembali UU tersebut. Tapi memang itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama,” ujar dia Yulia dalam konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, pada Kamis, 18 Januari 2024.
Meskipun sekarang, kata dia, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah meminta kenaikan pajak hiburan 40-75 persen untuk diskotek, karaoke, hingga spa ditunda penerapannya. Sehingga, karena ditunda, maka secara otomatis peraturan daerah yang mengatur hal itu juga harus mengikuti.
Selain itu, menurut Yulia, pengusaha juga kecewa dengan dimasukkannya industri spa ke dalam jenis hiburan tertentu yang harus dikenai pajak 40-75 persen. Sebenarnya dalam Permenparekraf Nomor 11 Tahun 2019 sudah mendefisikan cukup jelas mengenai usaha spa.
Selanjutnya: Dalam pasal 1 peraturan itu, kata Yulia, disebutkan bahwa usaha spa....
<!--more-->
Dalam pasal 1 peraturan itu, kata Yulia, disebutkan bahwa usaha spa adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan atau minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbanhkan jiwa dan raga dengan tetap perhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Bahkan IWSPA juga sudah melaksanakan audit terhadap usaha spa sesuai dengan Permenparekraf itu. Namun, anehnya dalam UU HKPD, spa dikategorikan ke dalam jenis hiburan. “Kalau yang lain mungkin hiburan ya silahkan saja. Tetapi yang tergolong di sini adalah spa wellness, spa untuk kesehatan,” ucap dia.
Menurut Yulia, sangat aneh jika akhirnya spa dikategorikan sebagai jenis hiburan. “Itu yang sangat kami sesalkan dan asoisasi kami tentu tidak menghendaki hal itu,” tutur Yulia.
Alasannya, karena, para terapis spa di industri adalah terapis yang profesional dan bersertifikat. Bahkan harus mengikuti pelatihan yang tidak mudah untuk menjadi seorang spa profesional. Selain itu, ada juga uji kompetensi yang harus dijalani para terapis dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
“Jadi ini betul-betul adalah pekerjaan yang tidak sembarangan dikatakan hiburan semata. Itu yang menjadi konsen kami terhadap UU tersebut,” kata Yulia.
Selanjutnya: Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) ....
<!--more-->
Ketua Wellness Healthcare Entrepreneur Association (WHEA) Agnes Lourda Hutagalung mengatakan tidak pernah diajak bicara mengenai aturan tersebut. “Pemerintah tidak komunikasi dengan industri. Jadi, kalau ada satu unsur pemerintah yang bilang dia berkoordinasi dengan industri, bohong,” ujar dia.
Menurut Lourda, sebenarnya WHEA sudah menghadap ke DPR untuk membahas masalah pajak itu. Namun, Lourda berujar, pihak DPR menyatakan bahwa para wakil rakyat itu sudah berbicara dengan kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Kemudian, ketika pelaku industri spa dari WHEA mendatangi Kemenparekraf, tak ada respons baik dari pihak kementerian. “Kami bicara kepada deputi yang menangani regulasi, jawabannya apa? Bukan urusan gue. Ada lagi deputi urusannya industri, urusan marketing, satu pun yang berhubungan dengan ini nggak merespons,” ucap Lourda.
Penjelasan Kemenkeu
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, pengenaan tarif batas bawah dan atas pajak hiburan tersebut termaktub dalam revisi UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau UU HKPD yang terbit pada 2022. Pasal 55 UU HKPD mengatur ada 12 jenis kegiatan yang masuk kategori jasa kesenian dan hiburan. Dari dua belas jenis kategori tersebut, hanya jasa hiburan tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa saja yang kena tarif batas bawah dan atas.
Sementara sebelas jenis lainnya adalah tontonan film; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; dan panti pijat dan pijat refleksi, tidak kena tarif tinggi.
Selanjutnya: Secara umum, kata Lidya, ada penurunan tarif untuk sebelas jenis pajak hiburan....
<!--more-->
Secara umum, kata Lidya, ada penurunan tarif untuk sebelas jenis pajak hiburan di luar diskotek, dari 35 persen menjadi paling tinggi 10 persen. Tujuannya untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir.
Menurut Lidya, hal itu menjadi bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian. Selain itu, Lidya menambahkan, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian pajak terhadap jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. “Ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah,” ucap dia.
Lydia menegaskan, pajak barang dan jasa tertentu atas jasa kesenian dan hiburan adalah pajak daerah. UU HKPD memberi kewenangan atau diskresi kepada daerah untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan kondisi perekonomian di wilayah masing- masing. Termasuk menetapkan tarif pajak barang dan jasa tertentu atas jasa hiburan tertentu dengan tarif 40-75 persen buat diskotek.
“Selain itu, UU HKPD juga mengatur kewenangan Pemda untuk memberikan fasilitas berupa insentif fiskal guna mendukung kemudahan berusaha dan berinvestasi di wilayah masing-masing sesuai amanah pasal 101 UU HKPD,” tutur Lydia.
Pilihan Editor: Faisal Basri Bantah Bujuk Sri Mulyani untuk Mundur dari Kabinet Jokowi: 99 Persen Saya Yakin Dia Resah