1.450 Peserta BPJS di Gunung Kidul Miskin tapi Dinonaktifkan
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 3 Oktober 2019 06:37 WIB
TEMPO.CO, Gunung Kidul - Usai pemerintah memangkas sebanyak 4,68 juta peserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah daerah melakukan verifikasi dan validasi. Salah satunya dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang memverifikasi dan memvalidasi 30.750 peserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan yang dicoret Kementerian Sosial.
Kepala Dinas Sosial Gunung Kidul Siwi Iriyanti di Gunung Kidul, mengatakan verifikasi dan validasi data terhadap peserta BPJS yang dicoret itu dilakukan karena banyak masyarakat miskin yang ikut dicoret. "Dari total 30.370 peserta PBI BPJS Kesehatan, terdapat 1.450 peserta yang layak menerima bantuan, tapi tetap dibekukan oleh Pemerintah Pusat," kata Siwi, Rabu, 2 Oktober 2019.
Namun begitu, Siwi menjelaskan, ribuan warga yang dicoret itu masih bisa mendapatkan akses jaminan kesehatan. Salah satunya melalui program penjaminan yang dibiayai oleh APBD Kabupaten. "Untuk dapat ikut, ada prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi,” katanya.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Gunung Kidul Eka Sri Wardhani menambahkan, usai mendapatkan Surat Keputusan pembekuan peserta PBI dari Pemerintah Pusat, pihaknya mengecek di lapangan untuk memastikan kebijakan pembekuan tidak salah sasaran.
Sebelum pemerintah merilis data peserta BPJS Kesehatan yang dinonaktifkan, ada sekitar 100.000 peserta yang tidak masuk ke dalam sistem Basis Data Terpadu (BDT) Kemensos yang mendapatkan bantuan BPJS Kesehatan. Namun setelah SK turun, peserta yang dibekukan hanya mencapai 30.750 peserta.
Eka menyebutkan jumlah peserta yang dinonaktifkan di masa mendatang sepenuhnya tergantung pemerintah pusat. "Semua tergantung kebijakan dari pusat. Apabila kebijakan pembekuan dilakukan lagi, maka jumlah warga terdampak bisa bertambah,” katanya.
Terkait temuan verifikasi lapangan yang mempertanyakan validitas data Kementerian Sosial itu, Eka menyatakan bakal ada tindak lanjut segera. "Data temuan di lapangan ini akan dijadikan bahan untuk mengusulkan kepada pemerintah pusat agar peserta yang masih layak diaktifkan kembali. Kami akan segera mengusulkan kembali ke Kementerian Sosial dan mudah-mudahan bisa diterima," ujarnya.
<!--more-->
Sebelumnya pemerintah menonaktifkan sebanyak 4,68 juta peserta penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan per 1 Oktober 2019. Namun di saat yang sama terdapat tambahan peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 4,66 juta yang baru didaftarkan.
Deputi Direksi Bidang Kepesertaan BPJS Kesehatan Bona Evita menjelaskan hal itu berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diubah melalui Keputusan Menteri Sosial No.109/HUK/2019 tentang Perubahan Data Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2019 Tahap Kedelapan.
Penonaktifan tersebut dilakukan karena beberapa sebab di antaranya peserta tidak lagi masuk dalam DTKS, sudah meninggal, sudah mampu bekerja, atau memiliki kartu identitas ganda. Dari perubahan tersebut terdapat selisih 17.281 jiwa. Namun, perubahan ini tidak akan mengubah kuota PBI APBN pada 2019 yang jumlahnya mencapai 96,8 juta jiwa.
Bagi peserta yang tidak didaftarkan kembali, kata Bona, maka penjaminan layanan kesehatan tidak dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan. "Informasi ini dapat diakses melalui kanal-kanal yang sudah disediakan oleh BPJS agar peserta bisa mendaftar sebagai peserta mandiri,” ucapnya, Selasa, 1 Oktober 2019.
Bona menjelaskan, peserta yang sudah tidak lagi menjadi PBI, iuran tetap dapat dijamin oleh APBD dengan mendaftarkan diri ke Dinas Sosial atau cabang BPJS Kesehatan setempat. Peserta yang sudah dihapuskan dari PBI akan diberikan kemudahan untuk melakukan pendaftaran sebagai peserta mandiri.
Berbagai kemudahan mendaftar sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan yang dimaksud di antaranya bisa mendaftar hanya menggunakan kartu keluarga (KK), KTP elektronik, dan fotocopy halaman buku rekening, dan surat kuasa. Sementara itu, PBI yang sudah menjadi pegawai di perusahaan, baik swasta maupun pemerintahan dapat melaporkan kepada pihak perusahaan.
ANTARA