TEMPO Interaktif, Jakarta -Industri kakao dalam negeri kesulitan mengembangkan pasarnya di Eropa dan Amerika Serikat, "Bea masuk produk kakao olahan ke Uni Eropa dan Amerika masih tinggi. Tapi bea masuk biji kakau nol persen," kata Ketua Umum Asosiasi Impor Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman.
Indonesia juga mendapat perlakuan diskriminatif karena dikenai bea masuk sebesar tujuh sampai sembilan persen, sedangkan produk yang sama dari Afrika seperti Pantai Gading dan Ghana dikenai bea masuk nol persen. Tidak hanya ke Uni Eropa dan Amerika, bea masuk produk olahan kakao ke negara lain seperti Pakistan, India dan Vietnam juga sangat tinggi.
Jika bea masuk ekspor untuk biji kakao ditetapkan nol persen di ketiga negara tersebut, maka tidak demikian dengan bea masuk ekspor produk kakao olahan. Pakistan menetapkan bea masuk sebesar 20 persen, sementara India sebesar 30 persen dan Vietnam 10 persen.
Meski permintaan coklat di dalam negeri terus tumbuh rata-rata dua sampai empat persen per tahun, konsumsi coklat di dalam negeri masih rendah yaitu 0,06 kilogram per tahun per kapita. Negara yang konsumsi coklatnya paling tinggi sampai saat ini Switzerland dengan konsumsi coklat per kapita mencapai 10,2 kilogram per tahun.
Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengatakan tahun depan akan ada tambahan investasi baru oleh produsen kakao di Tangerang yaitu PT Bumitangerang Mesindotama. "Dia akan meningkatan kapasitas menjadi 60 ribu ton dari semula 40 ribu ton," ujarnya.
Nilai investasi yang ditanamkan adalah mencapai US$30 juta. Penambahan investasi ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja dari semula 330 orang menjadi sekitar 500 orang pegawai.
KARTIKA CANDRA