TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang utama dunia membuat tekanan terhadap rupiah mengendur. Mata uang lokal berhasil meninggalkan level 9.500 per dolar AS di hari pertama perdagangan pasca libur panjang Lebaran.
Catatan dari pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC Meeting) The Federal Reserve menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan tetap mendukung langkah-langkah tambahan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi melemahkan mata uang dolar AS.
Kondisi seperti ini langsung dimanfaatkan oleh rupiah untuk menguat hingga di bawah level psikologis 9.500 per dolar AS. Di transaksi pasar uang hari ini, Kamis, 23 Agustus 2012, nilai tukar rupiah ditutup menguat 18 poin (0,19 persen) ke level 9.494 per dolar AS.
Mata uang euro berhasil menguat 0,24 persen ke US$ 1,25, poundsterling naik 0,01 persen menjadi US$ 1,5882 , serta yen Jepang terapresiasi 0,03 persen ke 78,56 per dolar AS, hingga pukul 16:55 WIB sore ini.
Pengamat pasar uang, Lindawati Susanto, menjelaskan positifnya kondisi global saat pasar domestik buka, setelah libur panjang Lebaran, menguntungkan rupiah. Animo para pelaku pasar terhadap aset yang dianggap berisiko kembali mencuat seiring positifnya pasar finansial dunia, sehingga dolar AS yang menjadi mata uang safe haven cenderung melemah.
Bursa saham dan mata uang regional menguat dan pada akhirnya rupiah dan indeks saham domestik ikut positif, meskipun hanya naik tipis. “Para nasabah di pasar uang antarbank masih belum masuk, sehingga transaksi juga relatif sepi. Permintaan dolar AS yang tidak begitu banyak, membuat rupiah berhasil menguat di bawah 9.500 per dolar AS,” tuturnya.
Meskipun belum ada kepastian, namun adanya sinyal kemungkinan sebentar lagi kebijakan stimulus ekonomi untuk memacu pertumbuhan membuat para investor mulai memburu aset-aset yang berimbal hasil tinggi di kawasan regional, seperti mata uang rupiah. Ini yang menjadi salah satu pendorong apresiasi rupiah.
Dari kawasan Eropa, adanya rencana yang serius dari para pemimpin Eropa untuk memerangi dampak krisis utang di Benua Biru itu membuat euro berhasil menguat hingga ke US$ 1,25. Menguatnya euro ini, masih menurut Lindawati, menggambarkan adanya prospek pemulihan ekonomi global.
Dengan membaiknya prospek pertumbuhan global serta antisipasi stimulus bank sentral utama dunia, maka para pelaku pasar akan cenderung melepas dolar AS dan mengalihkan dananya ke aset di kawasan regional yang dianggap lebih menarik.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR