TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bukanlah karena konflik Iran- Israel.
Samirin mengakui konflik Iran-Israel berdampak pada harga minyak dunia. Sebab kawasan Timur Tengah merupakan pemasok minyak ke negara Asia seperti Cina, Jepang, India dan Korea. Samirin sendiri menilai kondisi ekonomi di Indonesia masih sehat tapi tidak fit.
"Jadi apapun yang ada di luar negeri kita harus antisipasi karena kondisi kita memang tidak sangat kuat," kata Samirin dalam diskusi zoomeeting bertajuk "Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran-Israel" pada Senin, 22 April 2024.
Menurut Samirin, pelemahan rupiah lebih banyak diakibatkan oleh upaya Amerika Serikat yang ingin memastikan USD tetap sebagai alat transaksi global.
"Sehingga demand terhadap dolar AS terus tinggi dan nilainya stabil sehingga mereka bisa mencetak dalam jumlah yang banyak," ujarnya.
Dia menilai krisis perang dijadikan kambing hitam melemahnya rupiah dan menguatnya dolar.
"Saya cenderung menduga krisis Iran-Israel dijadikan kambing hitam, apapun masalah kita salahkan ke krisis Middle East," ujarnya.
Menurut Wijayanto, Indonesia punya kelemahan fundamental ketika rupiah sedang melemah seperti sekarang ini. Beban bunga utang mencapai 14 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagian dalam bentuk dolar.
Hal itu menurut Wijayanto terjadi akibat pemerintah yang kecanduan berhutang. Situasi tersebut disebut Wijayanto membuat negara kehilangan investor trust.
Pilihan Editor: Laba BCA Rp 12,9 T pada Kuartal Pertama, Ditopang Restrukturisasi yang Berangsur Normal