Menurut bupati, Kabupaten Bojonegoro termasuk salah satu daerah surplus beras. Sebanyak 16 kecamatan dari 27 kecamatan yang ada di daerah itu merupakan penghasil beras yang potensial yang saat ini menghasilkan produksi 800 ribu ton gabah kering panen. Kecamatan-kecamatan yang menjadi lumbung beras itu, seperti Kecamatan Kalitidu, Sumberejo, Kapas, Trucuk, Kasiman, Padangan, Balen, Kanor, Malo dan Kecamatan Padangan, berada di kawasan subur di sepanjang daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Menurut Suyoto, harga gabah di pasaran dunia mencapai Rp 5.000 per kilogram. Sedangkan di dalam negeri berdasarkan harga pembelian oleh pemerintah Rp 2.600 per kilogram. Dengan demikian keuntungan yang bisa dinikmati petani bisa lebih tinggi.
Suyoto menjelaskan pula, dari produksi 800 ribu ton tersebut, hanya sekitar 250 ribu ton hingga 300 ribu ton per tahun yang digunakan untuk konsumsi lokal. Selebihnya dikirim ke daerah-daerah lain di Jawa Timur, seperti Surabaya, Sidoarjo, Jombang dan daerah lainnya. ”Kelebihan dari kebutuhan konsumsi lokal itulah yang ingin kami ekspor, bukan dikirim ke daerah-daerah lainnya di Jawa Timur,” tuturnya.
Jika diperbolehkan mengekspor beras, Suyoto optimistis pemerintah pusat tidak perlu lagi memikirkan subsidi pupuk atau bantuan lainnya bagi petani di Bojonegoro. Seluruh kebutuhan petani bisa dipenuhi dari keuntungan ekspor.
Suyoto juga yakin, ide agar daerah bisa menjadi eksportir beras akan mendapat dukungan dari daerah lainnya sesama penghasil beras, seperti Lamongan dan Jember di Jawa Timur, dan sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Fasilitas pendukung untuk terus meningkatkan produksi beras juga terus dibangun di Bojonegoro. Di antaranya Bendung Gerak di Kecamatan Trucuk serta optimalisasi Bendungan Pacal. Demikian juga program penambahan jumlah embung. SUJATMIKO.