TEMPO.CO, Jakarta -Mari menengok ke belakang, perkembangan penggunaan e-money telah melonjak sejak 2013 lalu. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa jumlah transaksi uang elektronik terus meningkat. Per Oktober 2013, tercatat ada 12,3 triliun transaksi uang elektronik dengan nilai transaksi Rp 245,2 miliar. Angka tersebut melonjak dibanding pada 2007, dengan 600 ribu transaksi dan nilai transaksi yang hanya Rp 5,3 miliar
Penggunaan uang elektronik semakin menjamur sering dengan dorongan Bank Indonesia terkait kerjasama antara bank dan operator transportasi pada 2014. Saat itu, pembayaran transportasi menggunakan uang elektronik dinilai bakal lebih efisien. Pada tahun yang sama, Bank Indonesia langsung mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai yang mendorong masyarakat ke gaya hidup cashless.
Baca Juga:
Gerakan uang non tunai ini dicanangkan agar penggunaan uang kertas ataupun logam yang berbentuk fisik berkurang, karena kemudahan bertransaksi, kemudahan untuk dibawa, dan keamanan transaksi. Gerakan non tunai juga memungkinkan pemerintah mengurangi pencetakan uang fisik yang tergolong mahal dari segi produksi. Kehadiran uang elektronik tak hanya akan mempermudah proses transaksi, tapi juga membuat lalu lintas uang lebih terpantau dan transparan.
Di tahun itu pula PT Kereta Api Commuter Jabodetabek (KCJ) meluncurkan tiket elektronik (e-ticketing) bersama tiga bank pemerintah, yakni Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Rakyat Indonesia. Melalui kerja sama tersebut, produk uang elektronik Mandiri E-Money, BNI TapCash, dan BRIZZI bisa digunakan sebagai tiket kereta Jabodetabek.
Pada Maret 2016, Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) meluncurkan E-Toll yang dapat digunakan di semua gerbang tol milik Jasa Marga. Itu adalah langkah yang menjadi cikal bakal Gerbang Pembayaran Nasional, yang artinya semua kartu prabayar Himbara bisa digunakan di satu alat baik untuk membayar maupun isi ulang. Hal itu memungkinkan untuk melakukan transaksi silang bank.
Kemudian, Mei 2017 wacana pengenaan top up fee uang elektronik bergulir. Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, berharap kebijakan tersebut bisa mendorong perbankan untuk lebih gencar mempromosikan uang elektronik. Biaya isi ulang tersebut nantinya menjadi pendapatan bagi bank selaku penerbit kartu. "Penerapannya menunggu revisi peraturan Bank Indonesia tentang e-money."
Pada Juni, Kepala Program Elektronifikasi dan Keuangan Inklusif Bank Indonesia, Punky Purnomo Wibowo, mengatakan akan menetapkan tarif isi ulang uang elektronik pada Juli 2017. "Insya Allah (Juli). Harus kita segera diterbitkan demi mengejar tenggat bulan Oktober," kata Punky selepas diskusi di Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Selasa, 20 Juni 2017. Namun ketentuan itu tidak kunjung keluar.
Punky mengatakan saat itu ada beberapa opsi mengenai tarif isi ulang atau top up fee yang dikaji oleh bank sentral. Opsi pertama adalah menetapkan fee berdasarkan persentase dari nilai isi ulang. Opsi berikutnya adalah mematok biaya tetap pada setiap transaksi, berapa pun nominalnya.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Eni Panggabean, mengatakan skema yang dipilih tidak boleh membebani satu pihak. Dia menyebutkan satu opsi yang dia nilai menguntungkan masyarakat dan penyedia kartu. "Bank akan diminta mengurangi biaya kartu, tapi isi ulang boleh dikenai biaya," kata dia di Plaza Mandiri, Jakarta. Eni mengatakan skema tersebut cukup adil bagi kedua belah pihak.
Sementara, masyarakat menentang wacana itu sebab dinilai bakal memberatkan. Pada 18 September 2017, pengacara bidang perlindungan konsumen, David Tobing, melaporkan Gubernur Bank Indonesia ke Ombudsman Republik Indonesia. Dalam laporannya, dia meminta Ombudsman memberikan rekomendasi kepada Bank Indonesia untuk membatalkan rencana penerbitan kebijakan pengenaan biaya untuk isi ulang kartu elektronik dan melindungi hak konsumen untuk melakukan transaksi dengan menggunakan uang kertas maupun logam.
Pasalnya, rencana kebijakan BI terkait pengenaan biaya isi ulang uang elektronik alias e-money berkisar antara Rp 1.500 hingga Rp 2.000, menurut dia, patut diduga merupakan bentuk tindakan maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan pada pengusaha. "Alasannya buat infastruktur bank. Masa pengusaha dimodalin sama konsumen? Aneh banget," ujarnya.
CAESAR AKBAR