TEMPO.CO, Canberra - Ketidakpastian ekonomi dan bangkitnya radikalisme Islam sejak sebelum pemilihan gubernur Jakarta menjadi salah satu faktor komunitas bisnis menunda investasi dan belanja. Tertundanya aliran investasi tersebut menyebabkan melambatnya pertumbuhan investasi.
Hal ini disampaikan Raden Pardede, Co-Founder Creco Research Institute, pada hari pertama Konferensi Indonesia Update 2017 di Australian National University, Canberra, Australia. Konferensi ini membahas situasi politik dan ekonomi terkini di Indonesia.
Baca: BI Minta Pemerintah Mengarahkan Investasi
Dihadiri ratusan peserta, konferensi yang kali ini mengusung tema “Indonesia in the New World: Globalisation, Nationalism and Sovereignity” tersebut diadakan pada Jumat dan Sabtu akhir pekan ini. Sejumlah pengamat Indonesia—dikenal dengan sebutan Indonesianis—berkumpul pada perhelatan tahunan ini. Di antaranya sejarawan Anthony Reid dan Robert Cribb, ahli politik Marcus Meitzner dan Edward Aspinall, ekonom Hall Hill, dan ahli geografi Jeffrey Neilson.
Menurut Raden, faktor lain yang membuat aliran investasi atau belanja seret adalah target penerimaan pajak yang terlalu afresif. “Pemerintah tentu ingin memperoleh penerimaan lebih banyak untuk menggerakkan ekonomi,” kata Raden Pardede. “Tapi pada saat yang sama target itu memicu efek negatif.” Ini terlihat dari pegawai pajak dan bea cukai yang mengambil langkah lebih agresif ‘memburu’ pembayar pajak.
Raden menyebutkan, ketidakjelasan kontrak, khususnya di sektor energi dan pertambangan, juga membuat investasi melempem. Situasi ini diperparah oleh intervensi pemerintah dalam menentukan harga eceran tertinggi beras, seperti yang terjadi baru-baru ini.
“Konsumen beras premium ini kelompok berpenghasilan ke atas,” kata Raden. “Mereka mampu membeli dengan harga berapa pun.” Dominasi perusahaan pelat merah dalam proyek infrastruktur juga mengundang keluhan “Banyak kontraktor swasta komplain mengenai hal ini,” kata Raden.
Tak heran bila tren jangka pendek menunjukkan terjadi perubahan pertumbuhan invetasi dan konsumsi. Bila sebelumnya pertumbuhan investasi lebih besar ketimbang konsumsi. maka saat ini pertumbuhan konsumsi lebih besar dari pertumbuhan investasi.
“Polanya sudah berubah, terjadi pergeseran dari pertumbuhan yang didorong investasi menjadi pertumbuhan yang didorong konsumsi, ” kata Raden. Rata-rata pertumbuhan konsumsi 2013-2016 mencapai 5,16 persen, adapun pertumbuhan investasi pada periode yang sama menyentuh 4,74 persen.
Sejauh ini, pemerintah berhasil menjaga stabilitas makroekonomi dengan defisit neraca transaksi berjalan yang kian menyempit, inflasi yang rendah, stabilnya sektor keuangan dan nilai tukar mata uang. Menurut Raden, dibandingkan banyak negara, pertumbuhan pada kisaran 5 persen tentu tidak terlalu buruk. “Pertanyaanya: apakah masih mungkin bagi Indonesia mencapai pertumbuhan 7 persen?” kata dia.
Sejumlah presiden, sejak era Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyoo dan Joko Widodo pernah menjanjikan pertumbuhan Indonesia bisa menggeliat hingga mencapai 7 persen. Nyatanya, meski terjadi ledakan komoditas di era SBY, Indonesia gagal mencapai pertumbuhan 7 persen.
Berkaca pada perkonomian global saat ini, tren pertumbuhan gross domestic product (GDP) Indonesia menurun. Tren jangka panjang menunjukkan seluruh komponen produk domestik bruto Indonesia menurun, termasuk konsumsi, belanja permerintah dan ekspor-impor. “Investasi bahkan menurun lebih dalam,” kata Raden.
Adapun tren jangka pendek menunjukkan, konsumsi domestik stagnan dan investasi meningkat meski masih di bawah kinerja sebelumnya. Adapun belanja pemerintah menurun dan perbandingan net antara ekspor dan impor meningkat. “Data tersebut menunjukkan ada masalah dari sisi effective demand di Indonesia saat ini,” kata Raden.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, yang berada pada kisaran 5 persen, terlalu dini untuk disimpulkan sebagai sesuatu yang lumrah atau telah berubah menjadi “new normal”. Meski begitu, sejumlah data terbaru menunjukkan, “Situasi perekonomian Indonesia mengalami kemajuan yang sangat terbatas ketimbang tahun lalu,” kata Raden Pardede.
Menurut Raden, “new normal” dari pertumbuhan yang rendah ini disebabkan oleh dua hal. Penyebab pertama, kata dia, adanya kendala eksternal yang ditandai oleh meningkatnya proteksionisme, nasionalisme, dan populisme. Adapun hambatan internal meliputi tantangan kapasitas institusional, populisme-nasionalisme, proteksionisme dan pasar tenaga kerja.
“New normal” adalah terminologi di dalam ekonomi dan bisnis yang merujuk pada kondisi keuangan pasca krisis finansial 2007-2008 dan resesi global 2008-2012. Terminologi ini kemudian digunakan untuk mengindikasikan situasi yang sebelumnnya abnormal kemudian menjadi lumrah.
Menanggapi paparan Raden, Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Riatu M. Qibthiyyah menyebutkan, rendahnya pertumbuhan kredit dan investasi menghambat pertumbuhan ekonomi di masa akan datang.
Berdasarkan survei LPEM 2016, kondisi perekonomian global menempati urutan paling atas yang paling mempengaruhi iklim bisnis di Indonesia, terutama bagi perusahaan menengah dan besar. Adapun ketidakpastian kebijakan pemerintah menempati urutan kedua.
Berbeda dengan perusahaan menengah dan besar, isu yang menjadi hambatan utama perusahaan mikro dan kecil adalah monopoli, ketidakjelasan kebijakan pemerintah, disusul isu korupsi. “Perbaikan iklim bisnis dapat dilakukan bila kita fokus memerangi korupsi,” kata Riatu.
YANDHRIE ARVIAN