TEMPO.CO, Jakarta - Sedikitnya 4.000 petani tebu yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Senin, 28 Agustus 2017. Aksi tersebut merupakan pernyataan sikap petani tebu seluruh Indonesia terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan para petani tebu.
“Kita terpuruk karena ada impor (gula) itu tadi. Gula impor banyak di pasar (sehingga petani tebu lokal) kalah bersaing,” kata Sekretaris Jenderal APTRI M. Nur Khabsyin.
Untuk mengubah keterpurukan yang sudah berlarut-larut sejak dua bulan lalu, para petani tebu meminta impor gula untuk konsumsi dibatasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak dipasarkan pada musim giling.
Baca: 7.000 Ton Gula Asal Petani DIY Belum Terjual Akibat Gula Rafinasi
Menurut pantauan APTRI, harga gula tani tahun ini merosot tajam dengan rata-rata Rp 9.000-9.500 per kilogram. Padahal pada 2016 rata-rata harga antara Rp 11.000 dan Rp 11.500 per kg. Karena itu, petani meminta gula petani dibeli dengan harga Rp 11 ribu per kg, bukan Rp 9.700 per kg.
“Kami tidak ingin petani mati di negeri sendiri,” ucap Dwi Irianto, Ketua Dewan Perwakilan Daerah APTRI Malang.
Simak: Gula Tebu Konsumsi Tak Lagi Kena PPN
Mereka merasa harga Rp 11 ribu yang diminta petani sangat realistis. Pasalnya, biaya pokok produksi mereka mencapai Rp 10.600 per kg. “Kami tidak mau harga gula kita (dibeli) di bawah harga pokok produksi. Kita mau pemerintah tahu bahwa sengsaranya petani gula harus dibayar di atas biaya pokok produksi,” ujarnya.
Petani tebu juga meminta harga eceran tertinggi dinaikkan menjadi Rp 14 ribu per kilogram atau menghapus ketentuan HET. Jaminan rendemen minimal 8,5 persen juga menjadi permintaan petani.
Selain itu, mereka menuntut revitalisasi pabrik gula milik badan usaha milik negara, penyediaan benih atau bibit unggul, serta pendanaan melalui kredit usaha rakyat dipermudah. Mereka juga meminta pemerintah mengembalikan kebijakan pupuk bersubsidi ke aturan lama yang dianggap lebih simpel dan tidak memberatkan.
HENDARTYO HANGGI