TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan saat ini industri pemintalan benang (spinning) tengah lesu. Menurut dia, hal ini disebabkan oleh daya beli yang rendah akibat pencabutan subsidi, seperti pada listrik.
"Dikurangi ya, seperti mengurangi shift kerja, tapi tidak berhenti," kata Ade saat ditemui di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta, Rabu, 19 Juli 2017.
Ade menuturkan kelesuan seperti ini tidak hanya menimpa sektor pemintalan, tapi juga industri-industri lain. "Semua sektor lesu, tanyakan saja ke retail dan lainnya," ujarnya.
Kelesuan ini, kata Ade, akibat anggaran untuk subsidi administered price dicabut oleh pemerintah untuk kepentingan membangun infrastruktur di berbagai daerah. "Tiba-tiba uang untuk subsidi ditarik untuk bangun infrastruktur," tuturnya.
Baca: Sektor Retail Lesu, Lotte Mart Tak Yakin Capai Target
Menurut Ade, untuk membenahi ini diperlukan pembukaan akses ke pasar ekspor dan membenahi iklim usaha di dalam negeri. Ia ingin jangan ada sentimen negatif di dalam negeri dan gesekan antara birokrat dan dunia usaha.
Ade menyatakan, jika terus begini, pertumbuhan industri tekstil tak akan signifikan. Padahal seharusnya pertumbuhan tiap tahun industri ini berada di kisaran 12-15 persen. Dia pun mengungkapkan produksi tekstil di dalam negeri nilainya US$ 10 miliar dan nilai ekspornya US$ 12 miliar. Nilai impor produksi tekstil ke dalam negeri US$ 6 miliar. "Masih ada surplus kalau soal ini."
Simak: DPR Pertimbangkan Penurunan Sanksi Denda Pelaku Kartel
Diketahui dalam beberapa tahun terakhir ada penurunan nilai ekspor dari US$ 13 miliar menjadi US$ 11,8 miliar. Ade berujar, ada pertumbuhan ekspor sejak Januari 2017 sebesar 0,6 persen. Hal ini bukan karena ada kenaikan permintaan ekspor dari pasar Amerika Serikat ataupun Eropa.
Kenaikan nilai ekspor, kata Ade, lebih disebabkan oleh meningkatnya daya saing yang makin baik ditambah dengan relokasi sebagian besar lokasi usaha sektor garmen ke Jawa Tengah. "Tidak terganggu politik seperti demo," tuturnya.
Ade menjelaskan, kenaikan ini masih bisa didorong lagi dengan adanya pembukaan perdagangan bebas seperti dengan Eropa. Ia memprediksi, jika free trade dengan Eropa bisa dimulai pada 2018, akan ada peningkatan ekspor 100 persen pada empat tahun setelah perjanjian ditandatangani.
DIKO OKTARA