Sampai akhir 2016, luas lahan tebu nasional hanya 444,2 ribu hektare, susut 0,5 persen dibanding tahun 2015. Kementerian Pertanian mencatat, produktivitas panen tebu hanya rata-rata 75,6 ton per hektare. Di lahan hak guna usaha BUMN gula atau kebun rakyat yang bermitra dengan BUMN, rendemen hanya 6,27 persen.
Rendemen untuk lahan tebu milik swasta lebih bagus sedikit, 7,12 persen. “Tahun depan kami akan memulai bongkar ratoon 15 ribu hektare lahan tebu,” kata Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Agus Wahyudi di kantornya, Kamis pekan lalu.
Menurut Agus, rendemen rendah lantaran tebu-tebu petani umurnya ada yang sampai 10 tahun. Idealnya, setelah lima tahun harus diganti dengan benih baru. “Benih baru itu mahal. Makanya kami akan subsidi tahun depan, Rp 200 miliar.”
Budi Susilo adalah salah satu petani yang kesulitan mengganti bibit tebu baru. Petani di Desa Banyuputih Lor, Lumajang, itu mengelola lima hektare lebih kebun. Sebagian ia sewa dari tuan tanah. Perlu 100 kuintal bibit plus 1,5 ton pupuk buat satu hektare tanah. Biayanya bisa Rp 15 juta lebih, belum termasuk ongkos sewa tanah Rp 20 juta setahun. “Saya masih beli bibit sendiri,” kata Budi, Rabu pekan lalu.
Kebun tebu makin susut karena keuntungan buat petani terus turun. Banyak petani mengganti jenis tanamannya. Kementerian BUMN sudah ancang-ancang akan mengganti tanaman PTPN yang tidak produktif ke tebu. “PTPN IX siap mengalihkan 11.300 hektare kebun karet jadi kebun tebu,” kata Wahyu. BUMN gula juga sudah meminta Perusahaan Umum Perhutani untuk menggunakan 30 ribu hektare hutan produksi di Jawa jadi kebun tebu. Gara-gara keterbatasan pasokan tebu, lima belas persen kapasitas giling BUMN gula mubazir.
Rencana Memanfaatkan Hutan