TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perindustrian menargetkan wajib SNI bagi pelumas berlaku efektif pada 2018 untuk menekan volume impor pelumas yang tahun lalu melonjak hingga 140 persen. Direktur Industri Kimia Hilir, Kementerian Perindustrian Teddy Sianturi optimistis Peraturan Menteri Perindustrian soal wajib SNI bisa terbit pada pertengahan 2017.
Aturan wajib SNI tersebut akan mencantumkan masa transisi 6–12 bulan. Masa transisi dibutuhkan untuk memastikan kesiapan regulasi teknis, lembaga penguji, laboratorium uji, hingga aturan pelaksanaan.
“Semua masih on the track seperti yang sudah kami sampaikan tahun lalu. Penentuan wajib tahun ini, tetapi masih ada masa transisi,” kata Teddy, Selasa (21 Maret 2017).
Teddy mengatakan wajib SNI pelumas dibutuhkan agar industri dalam negeri menikmati nilai tambah yang optimal dari peningkatan konsumsi pelumas, sekaligus memastikan kualitas pelumas yang beredar.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan volume impor pelumas melonjak 140,46 persen dari 191,19 juta liter pada 2015 menjadi 459,73 juta liter pada 2016. Produksi pelumas domestik pada periode yang sama justru merosot dari 415,31 juta liter menjadi 414,52 juta liter. Saat ini ada sekitar 17 produsen pelumas dalam negeri dengan kapasitas produksi maksimal 1,8 juta kiloliter per tahun dan sekitar 200 perusahaan importir pelumas.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan saat ini ada 8.543 nomor pelumas terdaftar (NPT) yang aktif dengan 2.266 NPT di antaranya diberikan pada 2016. Teddy yakin periode transisi 6—12 bulan memadai untuk meningkatkan kesiapan infrastruktur laboratorium dalam melayani pengujian ribuan merek pelumas yang terdaftar.
Saat ini 62 persen dari laboratorium penguji sudah tersertifi kasi sebagai lokasi pengujian SNI pelumas. Tiga dari lima lembaga sertifi kasi produk juga tersurvei siap sebagai penguji SNI. Penerapan SNI juga diyakini tidak akan menimbulkan aturan yang tumpang tindih dengan kewajiban produk pelumas beredar mengantongi NPT.
Teddy menilai SNI bisa diterapkan berbarengan dengan NPT seperti halnya produk makanan atau kosmetik yang beredar di Tanah Air wajib memiliki SNI walaupun telah mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Konsultan Senior Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia (LAPI) ITB dan anggota tim penerapan wajib SNI, Tri Suswidjajanto mengatakan akan menyisir kembali seluruh ketentuan dalam draf aturan wajib SNI. Beberapa hal yang dikaji termasuk jumlah SNI yang akan diwajibkan dari sekitar 20 SNI pelumas yang saat ini berlaku. Namun, Tri menilai sasaran utama wajib SNI adalah delapan SNI terkait pelumas otomotif yang volume peredarannya paling tinggi.
“Delapan SNI otomotif itu hampir pasti. Saat ini ada dua standar yang sudah berlaku sejak 1989. Ini nanti akan dikaji ulang apa dipertahankan, direvisi atau sekalian dihapus karena duplikasi,” kata Tri.
Humas Asosiasi Produsen Pelumas Dalam Negeri (Aspelindo) Arya Dwi Paramita sebelumnya menyatakan pelaku industri berharap pemerinta bisa segera menerapkan dan memberlakukan SNI untuk pelumas.
Dia menilai pemberlakuan SNI mampu memberi perlindungan terhadap produsen dalam negeri sekaligus konsumen dan menahan gempuran oli impor.
“Efeknya, memajukan industri pelumas dalam negeri sekaligus meningkatkan daya saing industri dalam menghadapi MEA,” tutur Arya.