TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tidak ada gangguan berarti bagi perekonomian Indonesia, terutama dari dalam negeri. Ia mengatakan fundamental ekonomi Indonesia saat ini sehat dan kuat.
Salah satu bukti fundamental sehat dan kuat, kata Darmin, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif baik. "Selain itu, nilai inflasi masih berada di kisaran tiga persen walau banyak harga naik di November," kata dia di Widya Chandra IV, Jakarta, Jumat, 2 Desember 2016.
Darmin mengatakan defisit transaksi berjalan (CAD) pun tercatat turun dibandingkan PDB walau neraca pembayaran ekspor dan impor masih belum pulih. CAD pada triwulan III 2016 tercatat sebesar 1,83 persen terhadap PDB. Jumlahnya turun dibandingkan triwulan II yang mencapai 2,16 persen terhadap PDB. "Neraca pembayaran pun masih surplus meski terjadi gonjang-ganjing di pasar global," tuturnya.
Indikator fundamental sehat yang lain adalah pertumbuhan kredit. Darmin mengakui pertumbuhan kredit tahun ini lambat yaitu hanya sekitar 6,5 persen. Namun sejak Oktober, pertumbuhan kredit meningkat menjadi sekitar 7,2-7,3 persen.
Menurut Darmin, indikator di atas tadi membuat nilai tukar rupiah tak terlalu terdepresiasi. Pelemahan Rupiah, menurut dia, jauh lebih baik dibandingkan negara lain. Jika dibandingkan year-to-date, Darmin bahkan mengklaim kurs rupiah tidak melemah melainkan menguat.
Darmin mengatakan ancaman terhadap ekonomi Indonesia lebih banyak berasal dari luar negeri. Namun dampaknya tetap tidak besar karena fundamentalnya kuat. Darmin mengatakan banyak negara pontang-panting akibat hasil referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Sementara Indonesia tidak terlalu terdampak. "Ada outflow dari dolar, tapi tidak sedemikian besar," kata dia.
Tanpa fundamental yang kuat, Darmin mengatakan ekonomi Indonesia pasti tertekan. Pasalnya, dana asing di Indonesia begitu banyak. Dalam Surat Berharga Negara (SBN), porsi asing jauh lebih banyam dibandingkan porsi asing di SBN Malaysia. "Di negara lain, porsinya hanya 13-14 persen sementara di Indonesia mencapai 39 persen," kata dia. Di pasar saham, jumlahnya bahkan lebih banyak lagi.
VINDRY FLORENTIN