TEMPO.CO, Jakarta - Pengurusan ribuan akta jual beli dan akad kredit rumah di Jawa Barat terhenti sejak Pemerintah Pusat menurunkan tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) per 8 September 2016.
Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Jawa Barat Jeni Mariani Raspati mengatakan penurunan BPHTB sebesar 2,5 persen disambut baik oleh konsumen dan para notaris. Namun sudah sebulan terakhir, seluruh transaksi anggotanya berhenti. “Ini berpengaruh sekali karena sekarang seluruh transaksi berhenti,” kata Jeni di Bandung, Rabu, 5 Oktober 2016.
Menurut Jeni, sejak tarif diturunkan proses verifikasi pajak menjadi dua pintu pertama di kabupaten/kota lalu di kantor pajak pratama (KKP). Jeni mengaku pengurusan menjadi lebih sulit karena indikator verifikasi penghitungan pajak kedua instansi berbeda-beda. “Di Dispenda daerah sekian, lalu ke KPP berbeda lagi nilainya, kami bingung ini bagaimana. Ini terjadi di 27 kabupaten/kota di Jabar,” papar Jeni.
INI menilai kebijakan baik pemerintah menurunkan BPHTB tidak lantas ditindaklanjuti dengan sejumlah kemudahan agar proses jual beli maupun kredit pemilikan rumah (KPR) lancar. Verifikasi diperparah karena setiap KKP di daerah tidak memiliki pola penghitungan yang sama dalam menilai objek pajak. “Kekurangan dokumen tidak pernah diberitahukan lengkap, jadi satu per satu, ini menyulitkan,” katanya.
Jeni juga memaparkan terhentinya transaksi ini disebabkan oleh tidak seragamnya durasi pengurusan dokumen di setiap KKP. Selain itu, verifikasi dengan BPHTB 2,5 persen, menurut dia, jauh lebih detil dan cenderung dipersulit. “Saat bayar BPHTB 5 persen lurus saja, tidak sulit. Sekarang juga konsumen mau transaksi memilih menunda, karena jatuhnya kami selalu kurang bayar,” ujarnya.
Kesulitan ini juga pada akhirnya dihadapi oleh pihak perbankan yang kesulitan memberikan validasi karena masih menunggu penomeran berkas AJB dari notaris. Jeni mengaku sudah mengajukan keberatan pada KPP dan Pemda. “Pihak KPP beralasan mereka tengah sibuk tax amnesty, kami berharap persepsi setiap KPP sama agar persyaratan seragam,” tuturnya.
Jeni mengakui transaksi yang terpengaruh rata-rata adalah transaksi untuk pembelian dan kredit rumah di atas Rp 2 miliar. Namun pada segmen rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pun tetap transaksinya ditunda. “KPP memang menjadi sulit. Kami ingin ada payung hukum dari Pemda juga terkait zonasi penerapan pajaknya,” katanya.
Di tempat yang sama, Ketua Umum INI Yulita Widyadhari mengaku sejak kebijakan penurunan BPHTB 2,5 persen diberlakukan pihaknya sudah meminta agar pengurus di daerah segera melakukan koordinasi dengan pemda setempat. “Jadi mereka harus bicara bagaimana jalan keluarnya,” ujarnya.
INI mencatat sejumlah daerah sudah melakukan koordinasi dengan Pemda cukup baik sehingga mengeliminasi persoalan di lapangan. Menurutnya penurunan ini memberi banyak pengaruh pada transaksi di sector properti. “Penurunan ini positif bayangkan dari 5 persen ke 2,5 persen,” kata Yulita.
Pihaknya berharap persoalan transaksi yang berhenti bisa segera diselesaikan oleh seluruh pihak di daerah. INI menyakini penurunan ini perlu waktu agar semua pihak memiliki pemahaman yang sama mengingat pentingnya kebijakan ini dalam menggenjot properti. “Kami serahkan persoalan ini pada pengurus wilayah, yang penting harus ada koordinasi dengan Pemda,” ujar Yulita.
Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) Jabar Irfan Firmansyah mengaku persoalan ini bisa menyebabkan target kepemilikan rumah di Jabar terganggu. “Tahun 2015 terealisasi 23 ribu unit. Di 2016 ini ditargetkan 25 ribu unit namun pesimis tercapai jika melihat kondisi seperti sekarang ini,” kata Irfan.
Di luar urusan admnistrasi REI Jabar sendiri berharap biaya BPHTB terus turun dari 2,5 persen hingga nol. “Dengan bea rendah tentu akan mendorong penjulan yang berimbas pada pembangunan perumahan. Masyarakatpun bisa membeli rumah dengan dana yang dimiliki,” ujar Irfan.