TEMPO.CO, Jakarta - Rupiah masih mampu berbalik menguat pada akhir pekan lalu setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi (gross domestic product/GDP) triwulan II (QII), yang jauh lebih baik dibanding triwulan sebelumnya.
GDP kembali berada di area 5 persen dalam 2,5 tahun terakhir, yakni mampu tumbuh 5,18 persen (vs 4,92 persen) dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Namun pertumbuhan GDP itu tak lantas memberi sentimen positif bagi penguatan rupiah karena masih terhalang pelemahan mata uang lain terhadap dolar Amerika Serikat sehingga dapat mempengaruhi laju rupiah nantinya.
"Laju rupiah diperkirakan cenderung kembali terkonsolidasi, akan bergerak dalam rentang support 13.129 serta resistan 13.093. Cermati sentimen yang ada," kata Kepala Riset NH Korindo Seucirites Reza Priyambada, dalam pesan tertulis, Senin, 8 Agustus 2016.
Dipangkasnya tingkat suku bunga Inggris oleh Bank of England (BoE) menjadi 0,25 persen (sebelumnya 0,5 persen) dan penambahan stimulus menjadi 435 miliar pound sterling dari sebelumnya 375 miliar pound sterling menjadi sentimen positif bagi pergerakan laju dolar Amerika. Hal ini seiring dengan exposure terhadap laju pound sterling kian berkurang.
Hal ini berimbas pada laju mata uang lain yang cenderung mengalami pelemahan. Apalagi laju dolar Amerika terus bergerak cenderung menguat seiring dengan perbaikan ekonomi Amerika. Meski rilis klaim bahwa angka pengangguran naik tipis, hal itu diimbangi membaiknya factory orders, sehingga makin melemahkan mata uang lain.
Laju rupiah secara tidak langsung ikut terimbas pelemahan mata uang lain. Sedangkan rilis GDP yang meningkat dari periode sebelumnya, yakni 5,18 persen dari 4,91 persen, tidak mendapat respons signifikan.
DESTRIANITA