TEMPO.CO, Jakarta - Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat mengisyaratkan bahwa Indonesia akan masuk ke dalam blok perdagangan Amerika atau Trans Pacific Partnership (TPP). Berbagai pandangan pun muncul di kalangan ekonom. Ada yang mengatakan Indonesia belum siap dan belum mumpuni menghadapi pasar bebas tersebut.
“Harus dilihat dulu, mana yang lebih banyak biayanya dan mana yang lebih sering dilakukan Indonesia, ekspor atau impor? Kalau impor, jelas akan rugi,” ucap ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, saat dihubungi Tempo, Kamis, 29 Oktober 2015.
Selain menitikberatkan pada sisi ekspor, menurut Lana, produk Indonesia harus memiliki daya saing kuat. “Harus ada keunikan.” Sebab, dalam pasar bebas ini, sebuah negara bisa menjual barang dan jasa kepada sesama negara yang tergabung dalam TPP.
“Akan ada banyak saingan. Yang paling murah pasti akan dipilih pasar. Maka produk Indonesia harus punya nilai lebih,” ujarnya.
Lana menjelaskan, pasar Indonesia juga harus tahu produk apa yang mau dijual. “Harus tahu mau kirim apa,” tuturnya. Selama ini, 70 persen yang diekspor Indonesia adalah barang mentah, bukan barang jadi. Mestinya, menurut Lana, Indonesia juga menjadi produsen untuk barang jadi.
Lana mengilustrasikan, “Kita memproduksi nanas. Hasilnya diekspor ke Thailand. Di sana, nanas Indonesia itu diberi toples dan dicap produk Thailand lalu diekspor lagi ke Amerika, dan Indonesia impor dari sana, coba pikirkan?”
Selain pengusaha, kata Lana, pemerintah memiliki peran jika ingin sukses dalam TPP. “Infrastruktur jelas harus memadai dan diperbaiki. Pungli mesti segera ditindak karena ini membuat biaya menjadi naik, yang berdampak pada harga jual, dan logistik di dalam negeri juga harus murah.”
BAGUS PRASETIYO