TEMPO.CO, MAKASSAR - Perwakilan dari 12 negara akan hadir di Kota Makassar untuk membahas permasalahan rumput laut dunia. Perwakilan tersebut berasal dari Indonesia, India, Arab Saudi, Perancis, Jepang, Filipina, Spanyol, Maroko, Malaysia, Argentina, Australia, Swiss, dan Vietnam. “Kami ingin kampanyekan bahwa rumput laut adalah makanan sehat,” kata Sekertaris Jenderal Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI) Arman Arfah kepada Tempo, Ahad, 25 Oktober 2015.
Menurut Arman, kampanye ini penting untuk menangkal upaya sejumlah negara di Eropa untuk memboikot produk rumput laut. “Dengan alasan rumput laut tercemar dan mengandung bahan berbahaya. Ini harus kita lawan,” katanya.
Perwakilan 12 negara pemerhati rumput laut ini terdiri atas kalangan pembudidaya, industri, dan akademisi. Mereka akan memaparkan masa depan bisnis rumput laut dalam Indonesia Sea Weed Forum 11-12 November mendatang. “Sudah sejak 2006 pertemuan ini selalu diadakan di Makassar,” kata Arman.
Menurut Arman, permasalahan yang dihadapi oleh industri rumput laut adalah persoalan infrastruktur sehingga jarak antara industri dan pembudidaya sangat jauh. “Indonesia punya produksi terbesar di dunia. Tapi, industrinya masih bergantung ke luar negeri,” katanya.
Karena rumput laut Indonesia lebih banyak diekspor, resesi ekonomi dunia membuat harga rumput laut jatuh. “Cina sebagai importir paling besar dunia menghentikan sementara waktu pembeliannya,” kata Arman.
Dari total produksi rumput laut sekitar 9 juta ton per tahun, sebanyak 60 persen untuk ekspor. Dampaknya, jumlah ekspor rumput laut Indonesia turun hingga 40 persen. “Makanya, kami meminta industri dalam negeri juga tidak menurunkan harga agar petani tidak terlalu merasakan kerugian,” kata Arman.
Upaya lain yang perlu dilakukan pemerintah dan pelaku industri adalah membangun pabrik pengolahan rumput laut di beberapa daerah agar rumput laut bisa diproduksi dalam bentuk olahan, tidak selalu bahan baku. “Nanti bekerja sama dengan negara lain yang membutuhkan bahan baku olahan,” kata Arman.
Kepala Bidang Budi Daya Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan Sulkaf S Latief mengatakan, sejak awal tahun, harga beli rumput laut di Sulawesi Selatan ambruk. Dari tahun sebelumnya sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 14 ribu, sekarang jatuh sampai Rp 2 ribu per kilo gram kering. “Persediaan rumput laut menumpuk di gudang-gudang karena tidak ada yang mau beli,” kata Sulkaf.
Sulkaf mengatakan produksi rumput laut Sulawesi Selatan saat ini terbesar di Indonesia, yakni sekitar 2,8 juta ton per tahun. “Tapi, dengan kondisi harga seperti ini, kemungkinan produksi bisa menurun karena pembudidaya pasti beralih ke komoditi lain,” katanya.
MUHAMMAD YUNUS