TEMPO.CO, Sumenep - Program pemerintah bertani garam menggunakan geomembran tidak mampu mendongkrak harga garam rakyat. Di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, petani garam geomembran mengeluh garam miliknya hanya dihargai Rp 500 ribu per ton untuk garam kualitas I, atau di bawah harga patokan pemerintah Rp 750 ribu per ton.
"Kalau dihitung modal untuk beli geomembran, harga Rp 500 per kilogram itu kami merugi," kata Matsuri, pertani garam di Desa Karang Anyar, Kecamatan Kalianget, Sumenep, Jumat 18 September 2015.
Menurut Matsuri, untuk mengubah lahan garam lantai tanah menjadi lantai geomembran tidak murah. Dia harus mencari pinjaman modal sebesar Rp 8 juta per hektare. "Kalau harga segitu (Rp 500 per kilogram), jangankan untung, modal pun belum balik," ujar dia.
Namun Matsuri mengakui kualitas garam yang dihasilkan lahan geomembran lebih baik dibanding lahan tanah. Hasilnya juga lebih melimpah. Dia membandingkan, jika lahan tanah menghasilkan 50 ton per hektare, lahan geomembran bisa 70 ton per hektare.
"Cuma memang harganya beda tipis. Kalau garam biasa Rp 350, garam geomembran Rp 500 per kilogram," kata dia.
Ketua Persatuan Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras) Hasan Basri membenarkan keluhan Matsuri. Tapi, dia menilai merosotnya harga garam karena saat ini memasuki puncak panen raya garam. Saat panen raya tiba, kata dia, stok garam melimpah. "Kalau melimpah harga pasti turun," kata dia.
Saat harga anjlok, Hasan menambahkan, yang perlu dijaga adalah daya serap perusahaan garam. Jangan sampai saat harga menurun, garam yang dipanen malah bertumpuk tak terserap hingga membuat petani makin rugi.
Menurut dia, "Sampai sekarang daya serap baik, 60 persen garam petani dibeli pabrikan."
MUSTHOFA BISRI