TEMPO.CO, Jakarta - Mata uang rupiah bergerak mendatar sepanjang perdagangan Selasa, 23 September 2014. Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia, Rangga Cipta, mengatakan, tanpa dukungan sentimen yang kuat, rupiah memang hanya akan bergerak fluktuatif.
Rupiah ditutup menguat tipis 6,1 poin (0,05 persen) pada level 11.969. Menurut Rangga, meski bank sentral Amerika Serikat (The Fed) tak menaikkan bunga, pengurangan likuiditas dolar di pasar global akibat kebijakan pengurangan stimulus moneter (tapering off) yang berlanjut akan tetap menekan laju mata uang regional. (Baca: Indeks Cina dan Properti AS Pengaruhi IHSG Sepekan)
Baca Juga:
Mayoritas negara masih terjebak defisit fiskal dan neraca transaksi berjalan. Hal itu membuat kurs regional rentan akibat menipisnya ketersediaan likuiditas. “Paket stimulus moneter yang tinggal US$ 15 miliar semakin menggerus daya tahan kurs regional,” katanya.
Namun publikasi positif data manufaktur Cina mampu mendukung laju penguatan rupiah. Angka HSBC Flash Manufacturing PMI pada September, yang tumbuh ke level 50,5, membuat pelaku pasar optimistis kinerja perekonomian Cina akan terus membaik. “Commodities currencies, termasuk rupiah, merespons positif manufaktur Cina,” tutur Rangga. (Baca: Ekonomi Cina Melemah, IHSG Lesu)
Rangga menjelaskan penguatan rupiah juga merespons rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Nilai belanja subsidi BBM pada RAPBN 2015, yang diturunkan menjadi Rp 276 triliun, membangun ekspektasi bakal membaiknya neraca transaksi berjalan.
Dalam jangka pendek, kemunculan sentimen positif yang minim membuat nilai tukar rupiah masih akan bergerak fluktuatif pada level 11.850-12.000 per dolar. Bank sentral siaga menjaga laju rupiah agar tidak melampaui level psikologis Rp 12.000 per dolar.
MEGEL JEKSON
Berita Terpopuler
Akhirnya, Jokowi Bocorkan Nama Kabinetnya
Gadis Ini Dipaksa Ibunya Tidur dengan 1.800 Pria
Pria Ini 100 Kali Orgasme dalam Sehari