TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida, menolak berkomentar tentang sidang gugatan perdana terhadap lembaga tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK). "Saya no comment ya, biar di sana saja berjalan," kata dia setelah OJK Dialogue Series II di Jakarta, Senin, 5 Mei 2014.
Ia mengungkapkan pengajuan keringanan pungutan harus dilakukan sesuai kondisi yang dicantumkan dalam Surat Edaran (SE) OJK. Nurhaida menuturkan koordinasi harus dilakukan dengan Kementerian Keuangan untuk instansi yang bisa menerima keringanan pungutan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). "Secara ketentuan dalam peraturan, pada saat jatuh tempo kewajiban, harus melakukan pembayaran," ujarnya. Nurhadia mengatakan dua bulan sebelum jatuh tempo, pembayaran pungutan wajib dilakukan. (Baca juga: Digugat ke MK, OJK Enggan Berkomentar)
Untuk diketahui, hari ini digelar sidang lanjutan di MK soal uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam gugatannya, UU OJK disebut tidak mempunyai cantolan atau kaitan dengan UUD 1945. Selain itu, OJK juga disebut tidak punya badan pengawas atau supervisi OJK.
Nurhaida menyebut ada pelaku sektor jasa keuangan yang terlambat melakukan pembayaran karena kesulitan mengakses sistem pembayaran. Ia menduga pada saat bersamaan ada banyak pelaku sektor jasa keuangan yang mengakses sistem pembayaran tersebut. "Tapi mungkin ada yang merasa kondisinya kesulitan, mereka tidak melakukan pembayaran dulu," ucapnya. (Lihat juga: Uji Materi Undang-Undang OJK Diajukan)
Ia mengungkapkan saat ini OJK masih merekapitulasi data pelaku sektor jasa keuangan yang terlambat maupun belum melakukan pembayaran. Nurhaida menyebut identifikasi dan konsolidasi antarsektor masih dilaksanakan. "Pada dasarnya, berdasarkan ketentuan, itu terkena denda," kata Nurhaida.
Sebelumnya, tim pembela mendaftarkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Anggota tim, Salamuddin Daeng, mengatakan frasa independensi dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU OJK bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 D dan Pasal 33 UUD 1945. Menurut dia, dalam konstitusi, frasa tersebut hanya dimungkinkan dengan melalui bank sentral, bukan OJK. (Baca juga: DPR Tuding Perbanas Main Api dalam Masalah OJK)
Salah satu pemohon, Ahmad Suryono, mengatakan OJK tidak berwenang mengawasi lembaga keuangan nonbank dan jasa keuangan lain karena Pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia tidak mengatur hal tersebut. "Sektor jasa keuangan nonbank dan jasa keuangan lainnya sudah diatur dalam sejumlah UU, yang secara khusus mengatur sektor yang dimaksud berikut pengawasannya," tutur Suryono, Kamis lalu.
Adapun Salamuddin mempertanyakan keberadaan OJK yang disebut merupakan mandat yuridis Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Bank Indonesia. Padahal, menurut dia, mandat yuridis itu merupakan pelaksanaan dari rencana besar Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai bagian dari paket kerja sama dengan Indonesia.
Dalam kerja sama itu, IMF menginginkan dibentuknya lembaga yang terpisah dari departemen keuangan dan bank sentral. Lembaga tersebut diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu menjadi pelaku global dengan inspirasi dari Financial Supervisory Agency (FSA) di Inggris. Padahal, FSA gagal melaksanakan tugas dan kewenangannya.
MARIA YUNIAR | ANANDA PUTRI
Terpopuler :
Dahlan Iskan Angkat Deputi Menteri Berusia Muda
Bikin RTV, Bisnis Peter Sondakh Kian Menggurita
Samsung Harus Bayar Denda ke Apple Rp 1,4 Triliun