TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah memperkirakan total kredit properti yang mengucur untuk spekulan mencapai lebih dari Rp 31 triliun. Dari Rp 253 triliun kredit properti untuk bulan Mei 2013, lebih dari Rp 31 triliun digunakan spekulan atau debitur yang mengambil lebih dari satu kredit pemilikan rumah atau apartemen.
Tingginya angka untuk spekulasi membuat Halim yakin aturan uang muka yang segera diterbitkan BI tidak akan menurunkan jumlah kredit untuk KPR dan KPA dalam angka yang signifikan. "Mustinya tidak begitu besar dampaknya," kata dia, di Bank Indonesia, Jumat 12 Juli 2013.
Bank Indonesia akan mempertajam aturan uang muka kredit untuk kepemilikan rumah di atas 70 meter persegi, kepemilikan apartemen, termasuk untuk pemilikan ruko. Untuk KPR dan KPA tipe di atas 70 meter persegi, BI akan menetapkan uang muka minimal 30 persen untuk kredit pemilikan yang pertama, minimal 40 persen untuk kredit pemilikan kedua, dan minimal 50 persen untuk kredit pemilikan ketiga dan seterusnya.
Sementara untuk KPA tipe 22-70 meter persegi, BI akan menetapkan uang muka minimal 20 persen untuk kredit pemilikan yang pertama, minimal 30 persen untuk kredit pemilikan kedua, dan 40 persen untuk kredit pemilikan ketiga dan seterusnya. Adapun KPA tipe sampai dengan 21 meter persegi dan ruko/rukan BI akan menetapkan uang muka minimal 30 persen untuk kredit pemilikan yang kedua dan minimal 40 persen untuk kredit pemilikan ketiga dan seterusnya.
Halim menegaskan, pengaturan harus dilakukan karena aktivitas spekulasi di sektor properti telah membuat harga properti melompat dan berimbas pada harga rumah di bawah tipe 70 meter persegi. "Walaupun jumlahnya kecil tapi dampaknya ke mengurangi kemampuan masyarakat golongan ke bawah ternyata besar," kata dia.
BI juga akan mengatur KPR atau KPA milik suami dan istri akan dihitung satu orang kecuali suami-istri tersebut ada kesepakatan legal pemisahan harta. Untuk bank, BI akan melarang pembiayaan uang muka oleh bank untuk KPR atau KPA, dan mengatur soal kredit properti beragunan properti. Rencananya aturan ini akan berlaku efektif mulai 1 September.
Langkah ini menyusul tingginya pertumbuhan kredit KPR dan KPA. BI melansir, meski sudah ada kebijakan uang muka minimal 30 persen untuk KPR tipe di atas 70 meter persegi, pertumbuhan KPR jenis ini masih amat tinggi.
KPR tipe ini naik 25,9 persen dengan baki debet Rp 98,3 triliun. Kredit untuk flat atau apartemen juga terpantau tumbuh pesat. Flat atau apartemen tipe 21 meter persegi tumbuh 100,3 persen dengan baki debet Rp 700 miliar. Flat atau apartemen tipe 22 - 70 meter persen tumbuh 111,1 persen dengan baki debet Rp 6,2 triliun. Sementara itu, Flat atau apartemen tipe di atas 70 meter persegi tumbuh 60,3 persen dengan baki debet 4,5 triliun.
Fakta yang mencengangkan, BI menemukan ada debitur yang punya KPR atau KPA untuk 15 unit rumah atau apartemen. Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID), Halim menyebut jumlah debitur yang memiliki dua atau lebih KPR dan KPA mencapai 35,2 ribu orang dengan portofolio Rp 31,8 triliun. Debitur yang punya persis dua KPR atau KPA mencapai 31,3 ribu dengan portofolio Rp 22,9 triliun. Sementara itu, Debitur yang punya 3 - 9 KPR atau KPA mencapai hampir 4 ribu orang. "Ada juga yang punya 9 - 12 dan 12 - 15 tapi jumlahnya kecil kecil," katanya. Ini menunjukkan, ada spekulan properti.
Fenomena pertumbuhan tinggi kredit properti, kata Halim, diiringi dengan kenaikan harga yang melebihi fundamentalnya. "Kenaikan harga ini ikut memicu rumah tapak dan flat di tipe kecil, sehingga terjadi fenomena masyarakat tak mampu ambil KPR," katanya.
MARTHA THERTINA