TEMPO.CO, Jakarta - Sentimen positif dari data ekonomi Amerika Serikat (AS) dan kelanjutan penyelesaian krisis utang Eropa masih menjadi faktor penggerak rupiah pekan ini.
Rupiah akhir pekan lalu ditutup di level 9.589 per dolar AS, atau melemah tipis 0,19 persen di banding pekan sebelumnya di level 9.570. Sepanjang pekan lalu, rupiah cenderung bergerak melemah karena masih dipicu defisitnya neraca perdagangan bulan Juni-Agustus.
“Tingginya permintaan impor daripada ekspor akibat perlambatan ekonomi global otomatis meningkatkan permintaan dolar AS,” ujar pengamat pasar uang, Lindawati Susanto. Sejak rupiah mulai mencari level ekuilibrium baru di 9.500, fluktuasi mata uang lokal di pasar uang cukup lebar.
Pekan ini rupiah akan ditransaksikan di kisaran 9.550-9.600. Potensi penguatan rupiah, menurut Lindawati, masih tetap terbuka selama dukungan negara-negara Eropa terhadap program bank sentral masih tetap solid. “Dalam jangka panjang, rupiah masih menunggu efek positif dari pelonggaran moneter ketiga (QE3) serta peningkatan data tenaga kerja di AS.”
Tidak menentunya pergerakan rupiah membuat investor melepas portofolionya dalam mata uang lokal dan para pelaku bisnis asing juga enggan berinvestasi langsung dalam mata uang rupiah. “karena yang diinginkan investor adalah stabilitas rupiah.” kata dia.
Kondisi itu membuat potensi penguatan rupiah kini hanya tinggal bersandar pada sentimen global, terutama masalah krisis utang Eropa dan pemulihan ekonomi Negeri Abang Sam. Ketika data ekonomi membaik dan program pembelian surat utang di Eropa berjalan lancar, rupiah berpotensi menguat.
Sebaliknya, jika data ekonomi AS memburuk dan Eropa kembali bergejolak, rupiah akan kembali tertekan. Berlarut-larutnya persoalan dana talangan Spanyol pekan lalu menyebabkan posisi rupiah fluktuatif dan bahkan sempat menembus level 9.600 per dolar.
PDAT | M. AZHAR