Seperti diketahui, Pemerintah menargetkan produksi timah tahun 2010 sebesar 90.000 ton. Namun, realisasi yang tercapai hanya sebanyak 78.965 ton atau tercapai sebesar 87 persen. Walaupun produksi turun, pendapatan yang diterima dari sektor timah tersebut diakui oleh Bambang justru naik. "Tapi kita tetap harus melihat sisa timah ini lari kemana, harusnya kalau tidak ada timah "keluar", produksi pasti mencapai target atau naik naik dikit lah," katanya.
Bambang meyakini semestinya produksi timah bisa diatas realisasi, pasalnya sudah ada aturan yang jelas dari Kementerian Perdagangan yang melarang penjualan timah dalam bentuk pasir. "Pasti masuk ke smelter-smelter dalam negeri, kalau begitu pasti tercatat," katanya.
Pernyataan Bambang juga dikuatkan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia, Priyo Pribadi. Menurut Priyo. Ia menjelaskan, penurunan produksi timah dikala harga sedang mengalami kenaikan merupakan sebuah keanehan."Aneh, produksi turun ketika harga sedang tinggi," katanya.
Sekarang ini, ada kecenderungan perusahaan menurunkan target padahal semestinya produksi bisa dioptimalkan. "Turunnya produksi ini mesti dilihat benar-benar. Bila memang harganya tinggi, seharusnya produksi dimantapkan agar bisa mendapat keuntungan," katanya.
Penurunan produksi, mungkin saja terjadi apabila perusahaan sedang mengembangkan tambang baru. Namun, apabila tidak ada pembukaan tambang baru, penurunan produksi menjadi suatu hal yang patut dicurigai."Tidak logis, platformnya kan harusnya harga tinggi, produksi tinggi,sehingga untung maksimal," katanya.
Harga timah sepanjang tahun 2010 melonjak drastis. Pada tahun 2009 harga komoditas tersebut yang terdapat di London Metal Exchange hanya berkisar di rata-rata US$ 10.000 hingga US$ 16.000 per tonnya. Harga timah terus naik hingga pada akhir tahun 2010 lalu harga terendah timah di London Metal Exchange mencapai hingga US$ 25.460 dan tertinggi mencapai US$ 27.200.
GUSTIDHA BUDIARTIE