Mansur menjelaskan, tindakan retaliasi paling efektif jika dikenakan terhadap jenis produk yang sama, sementara Negeri Ginseng itu tidak menjual pulp atau bubur kertas ke Tanah Air. Korea juga membeli sebagian besar pulp dari Indonesia. Menurut Mansur, hingga kini tercatat 60 persen pulp yang dibutuhkan Korea dikapalkan dari Indonesia.
Karena itu, retaliasi dinilai sulit dilakukan. Pemerintah harus mempertimbangkan supaya tindakan balasan tersebut tidak merugikan Indonesia, dan pada saat yang sama tidak memukul produsen Korea. "Kalau mereka memutuskan tak mau membeli kertas Indonesia karena tindakan balasan itu, kita juga yang merugi, kan?" ujarnya.
Sebelumnya, Sinar Mas mendesak pemerintah melakukan retaliasi terhadap Korea, yang mengenakan bea masuk impor antidumping terhadap beberapa jenis pulp dan kertas dari Indonesia. Korea tetap mengenakan bea antidumping tersebut meskipun Dispute Settlement Body Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO) sudah memerintahkan Korea merekalkulasi bea masuk tersebut.
Korea dalam hal ini, menurut Mansur, memang tidak memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh WTO. Hal itu cukup wajar mengingat hampir semua negara biasanya bersikap keras kepala dalam melindungi industri mereka. Bea masuk antidumping yang dikenakan Korea Selatan pun sebetulnya hanya untuk beberapa jenis kertas.
Namun, jika pemerintah Indonesia tetap diam, pengusaha khawatir pengenaan bea masuk antidumping bakal merembet ke produk kertas yang lain. Tindakan retaliasi bisa dikenakan ke jenis produk lain dari Korea yang masuk Indonesia. "Bisa saja dikenakan ke produk lain, tapi alasannya harus kuat," katanya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Industri Hasil Hutan Kementerian Perindustrian Aryan Wargadalam. Aryan mengatakan retaliasi harus dipelajari betul-betul agar jangan sampai Indonesia yang justru merugi. "Apakah banyak yang ekspor (kertas) ke sana? Apakah semuanya kena (tudingan dumping)?" katanya.
Dia menjelaskan, barang dari Korea yang masuk Indonesia kebanyakan merupakan produk kendaraan bermotor. Pemerintah bisa saja memutuskan mengenakan tindakan balasan terhadap impor kendaraan bermotor dari Korea, tetapi pemerintah harus mampu mengajukan alasan yang kuat.
Selama tahun lalu nilai perdagangan antara Indonesia dan Korea tercatat US$ 6,3 miliar. Kementerian Perdagangan mencatat kenaikan nilai perdagangan sebesar 77 persen sampai Juli lalu atau menjadi US$ 11,2 miliar. Ekspor Indonesia ke Korea Selatan tercatat naik sebesar 81 persen menjadi US$ 6,9 miliar. Sedangkan impor dari Korea Selatan naik 71 persen menjadi US$ 4,3 miliar.
KARTIKA CANDRA