Bentuk retaliasi yang bisa dilakukan adalah pengenaan bea masuk antidumping kepada produk asal Korea Selatan yang diimpor ke Indonesia. "Mereka juga melakukan dumping," katanya di Jakarta, Rabu (13/10).
Retaliasi adalah tindakan balasan di bidang perdagangan antarnegara karena tidak tercapai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa. Ketegangan kedua negara, khususnya di industri kertas, ini berawal delapan tahun lalu.
Pada 2002, industri kertas Korea mengajukan petisi antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Salah satu industri kertas yang protes adalah Hankuk Paper Manufacturing. Perusahaan nasional yang dituduh melakukan dumping di antaranya PT Indah Kiat Pulp Paper Tbk, PT Pindo Deli Pulp Mills, PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Dari 15 produsen kertas di Indonesia, hanya 6 yang memproduksi kertas semen dan 3 perusahaan yang melakukan ekspor. Akibatnya, sejak 2004, Indonesia dikenai bea masuk antidumping untuk produk kertas sebesar 2,8-8,22 persen. Selain Indonesia, Cina dituduh melakukan dumping.
Karena keberatan atas bea masuk itu, Indonesia mengajukan permohonan banding di forum Dispute Settlement Body Organisasi Perdagangan Dunia (DSB WTO). Indonesia memenangi sengketa ini, dan Korea Selatan diperintahkan merekalkulasi pengenaan bea masuk antidumping. Namun rekalkulasi yang diwajibkan dilakukan maksimal delapan bulan setelah keputusan tidak dilakukan Korea.
Maka, pada 2007, Indonesia membawa kasus ini lagi ke WTO. Meski memenangi sengketa, Indonesia diminta menyesuaikan harga kertas seperti permintaan Korea. Korea juga kembali mengajukan inisiasi peninjauan kembali atas produk kertas Indonesia. Kali ini yang bertindak sebagai pengaju petisi adalah Hankuk Paper Manufacturing dan Hongwon Paper Manufacturing.
Atas permintaan Sinar Mas, Menteri Perdagangan mengirim surat kepada Menteri Perdagangan Korea Selatan atas kasus ini. Duta Besar Korea Selatan di Indonesia pun dipanggil. "Namun mereka tetap membela diri dan mengatakan hal ini hanya kesalahan prosedur," ujar Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami.
Pemerintah memutuskan menunggu final disclosure atas kasus tersebut yang rencananya diumumkan akhir bulan ini. Jika tidak memuaskan, Indonesia kembali maju ke panel DSB WTO lagi. Meski sebetulnya Indonesia diizinkan meretaliasi Korea sejak 2007, Gusmardi menyatakan hal itu tidak gampang dilakukan. "Butuh 3-6 bulan untuk proses arbitrase sebelum melakukan retaliasi."
Tindakan Korea dinilai sangat mengganggu kinerja ekspor kertas nasional. Sementara nilai ekspor kertas tertinggi seharusnya bisa mencapai US$ 150 juta, sekarang nilainya hanya sekitar US$ 50-60 juta.
EKA UTAMI APRILIA