TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut sikap DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal peraturan Pilkada bisa berdampak serius ke situasi ekonomi Indonesia. Terlebih, putusan DPR sudah menimbulkan reaksi masyarakat di berbagai wilayah untuk turun ke jalan.
Achmad mengatakan, sikap DPR menunjukkan bahwa prinsip supremasi hukum di Indonesia telah dirusak. Padahal, supremasi hukum menjadi pondasi utama yang memberi kepastian dan stabilitas dalam berbisnis.
"Begitu prinsip ini dirusak, Indonesia akan dipandang sebagai negara yang tidak menghargai rule of law," kata Achmad kepada Tempo, Kamis, 22 Agustus 2024. "Ini bisa meruntuhkan kepercayaan investor."
Pasalnya, menurut Achmad, investor tidak hanya membutuhkan jaminan hukum yang stabil. Namun, butuh hukum yang tidak mudah diintervensi kekuasaan politik. Ia berujar, bila hukum diubah demi kepentingan tertentu, risiko ekonomi semakin meningkat. "Ini bisa memicu volatilitas di pasar keuangan, depresiasi nilai tukar rupiah, serta meningkatnya biaya pinjaman luar negeri," kata dia.
Situasi seperti ini, menurut dia, bisa menyebabkan perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi dan penurunan investasi. Hal ini pun bisa berdampak pada penurunan pendapatan nasional, berkurangnya lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Ia pun meminta pemerintah mengambil langkah penyelamatan. "Caranya, komitmen supremasi hukum harus diperkuat dengan menghormati dan menjalankan putusan MK," kata Achmad. Menurutnya, ini penting untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia menghargai prinsip-prinsip demokrasi dan hukum.
Sebelumnya, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora soal UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah walaupun tidak memiliki kursi di DPRD. MK memutuskan ambang batas Pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu; 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
MK juga memutus Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. MK menolak permohonan dari dua mahasiswa, Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta MK mengembalikan tafsir syarat usia calon kepala daerah sebelum adanya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024. Adapun putusan MA yang dikeluarkan pada 29 Mei 2024 itu mengubah syarat usia calon kepala daerah menjadi saat pelantikan calon terpilih. Sebelumnya, syarat tersebut berlaku saat penetapan calon oleh KPU.
Namun, sehari kemudian, Baleg DPR menggelar rapat untuk RUU Pilkada. Hasilnya, Baleg menganulir putusan MK. Adapun rencananya, revisi UU Pilkada itu akan disahkan melalui rapat paripurna hari ini tetapi ditunda karena tidak kuorum.
Terhadap kekisruhan aturan ihwal Pilkada, Presiden Jokowi menyatakan dirinya menghormati putusan MK maupun DPR. Sebab, keduanya merupakan bentuk kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara.
"Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi melalui pernyataan video yang dibagikan Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 21 Agustus 2024. "
Pilihan Editor: Daftar Formasi CPNS KKP 2024 untuk Lulusan SMA hingga S2 dan Kisaran Gajinya