TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perikanan Budi Daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Tb Haeru Rahayu, mengatakan salah satu tantangan budidaya lobster adalah ketersediaan dan rantai pasok pakan kerang.
"Pakan kekerangan terbukti dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi dalam budidaya lobster," kata Haeru dalam keterangan tertulis, Minggu, 18 Agustus 2024.
Menurut dia, pakan kekerangan memiliki kandungan gizi sesuai kebutuhan nutrisi untuk menunjang tumbuh kembang lobster. Sehingga produksi budidaya lobster diharapkan turut meningkat. Selain itu, kata Haeru, Unit Pelaksana Teknis DJPB, terus melakukan inovasi teknologi budidaya untuk suplai pakan lobster berkualitas.
“Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok telah berhasil menguasai teknologi pembenihan dan pembesaran kerang coklat Mytilopsis adamsi,” ujar Tebe. Pengembangan kerang cokelat diyakini dapat menjadi pakan berkualitas bagi lobster dengan kandungan nutrient yang baik.
Dia mengatakan, alasan lain pengembangan pakan itu karena kerang cokelat tidak dikonsumsi manusia. Sehingga dapat fokus untuk pakan lobster saja. "Tidak ada lagi alasan persaingan atau kompetisi sumber makanan antara manusia dan lobster," ujar dia.
Adapun keunggulan lain dari kerang coklat, menurut Haeru, pertumbuhannya cepat dan mudah dibudidayakan. Merujuk dari beberapa referensi, katanya, kerang coklat sangat toleran terhadap salinitas hingga 15-25 ppt atau perairan payau. “Kerang coklat ini sebaiknya dikembangkan di wilayah yang relatif dekat dengan sentra budidaya lobster karena pertumbuhannya sangat cepat," ujarnya.
Dia berharap, melalui inovasi teknologi BPBL Lombok berupa budidaya kerang coklat sebagai pakan lobster dapat berkontribusi dalam peningkatan produktivitas lobster. Sehingga Indonesia bisa sebagai produsen lobster dunia. Menurut dia, Indonesia memiliki potensi menjadi produsen utama lobster dunia karena memiliki sumber benih bening lobster atau BBL yang sangat besar.
Haeru menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan tingkat sintasan atau kelulusan hidup lobster di alam hanya 0,01 persen. “Sangat berharga sekali jika 1 ekor benih bisa menjadi lobster dewasa berkualitas," katanya. Sebab itu, diharapkan teknologi budidaya kerang coklat di BPBL Lombok dapat diaplikasikan di sentra-sentra budidaya lobster, mulai dari pembenihan, pendederan, hingga pembesaran lobster.
Analis Akuakultur Ahli Madya BPBL Lombok, Bayu Priyambodo menjelaskan Spiny lobster bersifat bentik dan memiliki pola makan yang sulit, berantakan, dan pemilih. Lobster memilih makannya dari berbagai jenis pakan mulai bivalvia, gastropoda, crustacean sebagai pakan utama dan sekundernya. "Sesekali mereka mau makan polychaeta, echinodermata, rumput laut dan ikan," kata dia, dalam keterangan tertulis itu.
Dia menilai, sangat pas pengembangan kerang coklat tersebut sebagai komoditas utama pakan lobster yang dibudidayakan di Lombok. Bayu kembali menerangkan budidaya kerang coklat telah berhasil dikuasai teknis pembenihan hingga pembesarannya. "Target utama kami adalah menjadikan kerang coklat sebagai salah satu sumber pakan utama lobster," tutur dia.
Dengan harapan kerang cokelat dapat menjadi solusi konkret bagi pembudidaya lobster yang sampai saat ini masih mengandalkan pakan ikan rucah. Menurut Bayu, pembudidaya menghadapi beberapa masalah dalam penggunaan ikan rucah sebagai pakan lobster, terutama suplai yang tidak konsisten, persaingan sebagai sumber pangan manusia, dan kualitas.
“Melalui pengembangan budidaya kerang coklat, maka nantinya kita akan selalu mendapatkan pakan 100 persen segar untuk lobster yang kita budidayakan,” katanya. Bayu menambahkan, secara teknis, salah satu keunggulan kerang coklat adalah masa pertumbuhannya yang cepat, yakni dalam waktu 2-3 bulan bisa menghasilkan sekitar 25 sampai 30 kilogram koloni kerang per meter kubik. Atau setara 10.000-15.000 ekor dengan ukuran 2-3 gram per ekor kerang.
"Dibutuhkan sekitar 50 sampai 100 hektar tambak payau untuk memproduksi kerang coklat dalam mendukung satu kawasan budidaya lobster seperti di Lombok," kata dia.
Bayu mengatakan setelah sekitar empat bulan mengimplementasikan pembenihan dan pembesaran kerang coklat, BPBL Lombok telah memproduksi sebanyak 200 spat kolektor kerang cokelat dengan calon sekitar 150.000 ekor. Sebagian telah didistribusikan ke Lampung, Batam, Situbondo, dan Karangasem.
Ia juga menegaskan untuk berhati-hati dalam mengembangkan budidaya kerang coklat itu karena ia termasuk spesies invasif: tumbuh sangat cepat, toleransinya relatif sangat tinggi terhadap lingkungan baru, mendominasi habitat, sinar matahari, dan nutrisi.
Ia menilai pengembangan budidaya kerang coklat di Lombok sudah tepat dan cocok karena wilayah kawasan budidaya lobster. Permintaan pakan lobster jauh lebih tinggi dari sifat invasifnya. Sehingga dampak invasif berubah menjadi positif. "Dengan kata lain sifat invasif kerang ini bisa kita ubah menjadi permisif,” ucap dia.
Pilihan Editor: Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono Peringati HUT RI di NTT: Bentuk Perhatian Pemerintah