TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin berharap aturan baru mengenai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi rampung pada 1 September 2024. Jadwal itu mundur dari rencana sebelumnya pada 17 Agustus 2024 sebagaimana disampaikan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
“Waktu itu, Pak Luhut ingin seperti itu (berlaku mulai 17 Agustus). Tapi ini kayaknya akan digeser sedikit. Harapannya kita bisa lock semuanya 1 September, peraturan segala macamnya,” kata Rachmat dalam diskusi media Kebijakan Baru Subsidi BBM di Jakarta, Senin, 5 Agustus 2024.
Dia menyebut, pihaknya masih terus mempersiapkan kebijakan dan tata laksana pembelian BBM bersubsidi. Namun, lanjut dia, apabila tidak dapat diselesaikan di pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, maka akan diteruskan oleh presiden terpilih periode 2024-2029 Prabowo Subianto.
“Kita ingin coba mempersiapkan itu. Mudah-mudahan ini bisa jadi sesuatu yang kita kerjakan di pemerintahan saat ini. Tapi bisa jadi oleh-oleh di pemerintahan baru,” ucap Rachmat.
Dia menjelaskan, aturan baru tersebut nantinya bukan membatasi pembelian BBM bersubsidi. Namun, hal itu diklaim sebagai salah satu upaya pemerintah untuk memastikan bahwa BBM bersubsidi tepat sasaran.
“Saya terus terang sih, kurang menyukai istilah pembatasan, karena kalau pembatasan itu, nanti orang pikir enggak boleh beli. Sebenarnya kita memastikan bahwa orang-orang yang membutuhkan itu bisa memperoleh akses. Intinya subsidi jadi lebih tepat sasaran,” ujar Rachmat.
Rachmat juga mengatakan bahwa pemerintah tak ingin menghapus atau menaikkan harga BBM bersubsidi, melainkan meningkatkan kualitasnya.
“Enggak ada wacana itu (menaikkan harga). Pertalite dihapus, enggak? Enggak. Pertalite ingin kami naikkan kualitasnya. Ini yang sedang kami pikirkan,” katanya.
Mengenai skemanya, lanjut dia, kemungkinan tetap satu harga, tetapi pemerintah mencoba menurunkan volume subsidi dengan mengurangi jumlah penerimanya. “Karena kami sudah tahu, banyak sekali yang cerita, BBM tidak tepat sasaran, bocor, dan segala macam,” ucap Rachmat.
Dia mengungkapkan, pada dasarnya subsidi artinya membantu orang yang tidak mampu, menjadi mampu membeli, sehingga meningkatkan daya beli. Sementara semakin kaya seseorang, semakin besar pula energi yang dibutuhkan.
“Saya kasih contoh, kalau naik motor kira-kira dapat subsidi, misalnya Rp 1 karena tangkinya lebih kecil. Bensin itu subsidinya sekitar Rp 1.800, anggaplah Rp 2.000 per liter. Solar itu Rp 7.700, anggaplah Rp 8.000. Jadi, kalau orang pakai motor, pakai bensin, maka dia dapat Rp 1 perak. Kalau dia naik (mobil) Agya, dia dapat Rp 4.000 perak. Kenapa? Karena tangkinya lebih besar dan kilometer per liternya lebih kecil daripada motor,” ujar Rachmat.
Artinya, menurut dia, pengemudi mobil memperoleh subsidi lebih besar dibanding pengendara motor. Hal itu, lanjut dia, tak sesuai dengan target implementasi BBM bersubsidi.
“Harusnya enggak dong. Harusnya motor yang lebih (banyak) dapat. Nah, yang menarik lagi, solar karena orang yang naik mobil solar itu dapat Rp 11-13 perak,” katanya.
Oleh karena itu, dia menuturkan bahwa pemerintah kini tengah berupaya menyelesaikan permasalahan tersebut melalui peraturan perundang-undangan, mengingat polusi udara semakin memburuk. “Jadi, polusi ini perlu kami tangani, tetapi perlu memastikan juga, apalagi memakai APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara),” ucap Rachmat.
Melynda Dwi Puspita dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kepala BKF Perkirakan Subsidi dan Kompensasi Bakal Naik Rp 70 Triliun Imbas Pelemahan Kurs