TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja menilai tren pelemahan nilai tukar rupiah yang tembus di angka Rp16.350 bukan hanya disebabkan oleh konflik Iran-Israel. Menurut dia, pelemahan rupiah turut disebabkan sejumlah faktor musiman, seperti meningkatnya kebutuhan sektor riil.
"Saya kurang setuju jika dikatakan itu masalah di Timur Tengah. Sebenarnya melemahnya rupiah capai Rp 16.200-Rp 16.300 lebih karena beberapa faktor," kata Jahja saat menggelar konferensi pers secara virtual, Senin, 22 April 2024.
Jahja mencontoh masa Idulfitri yang menyebabkan kebutuhan meningkat dibandingkan hari normal. Pada persiapan lebaran, sambung Jahja, membuat pengusaha membeli bahan baku untuk kebutuhan produksi.
"Jadi ada kebutuhan impor juga meningkat," ucapnya.
Lebih lanjut, Jahja menyampaikan, penarikan modal dari investor luar negeri atas saham dan obligasi di pasar modal dalam negeri turut berpengaruh. Selain itu, pengaruh lain disebabkan oleh pembagian dividen di kuartal I-2024 yang sebagian besar mengalir ke luar untuk para investor asing yang merupakan pemilik perusahaan di Indonesia.
"Jadi ada masalah supply dan demand," ujarnya.
Menurut Jahja, Bank Indonesia (BI) belum memberikan intervensi terhadap pelemahan rupiah. Dia berharap saat kebutuhan dolar sudah menurun, BI dapat mengembalikan stabilitas kurs agar bisa kembali di bawah Rp 16.000 per dolar AS.
"Memang kalau lagi ada kebutuhan riil yang meningkat tidak boleh diintervensi," tuturnya.
Pilihan Editor: 5 Daerah Penghasil Bawang Merah Di Indonesia